Anda Pengunjung ke-

Thursday, March 27, 2008

3. Jenis Tanaman Lain di Kebun Kakao

1. Kapuk Randu

Kapuk randu (Ceiba pentandra) berpotensi sebagai tanaman penaung kakao. Namun kapuk randu telah terbukti sebagai inang berbagai jenis hama dan penyakit kakao. Selain itu, secara periodik tanaman ini menggugurkan daunnya menyebar tidak merata. Akibatnya cahaya yang diteruskan terlalu banyak atau fungsi penaungnya kurang baik. Tajuknya yang tinggi menimbulkan risiko kerusakan tajuk kakao karena kejatuhan cabang-cabangnya yang patah.

2. Petai

Petai (Parkia speciosa) memiliki kelemahan yaitu pertumbuhannya lambat serta tajuknya tinggi dan besar. Percabangannya tidak teratur sehingga daunnya menyebar tidak merata. Akibatnya cahaya yang diteruskan terlalu banyak atau fungsi penaungnya kurang baik. Tajuknya yang tinggi menimbulkan risiko kerusakan tajuk kakao karena kejatuhan cabang-cabangnya yang patah.

3. Kelapa Sawit

Pemakaian tanaman kelapa sawit sebagai penaung kakao menunjukkan hasil yang tidak mantap. Variasi dalam jumlah baris kakao antarbarisan kelapa sawit sangat memengaruhi hasil kakao. Tata tanam yang memberikan hasil terbaik adalah kelapa sawit jarak tanam 10 x 7 m diselang-seling dengan kakao jarak tanam 10 x 2,5 m. Dengan tata tanam seperti itu bisa memperbaiki interaksi antar kedua jenis tanaman atau tidak terjadi persaingan yang merugikan.

4. Karet


Tumpang sari kakao dengan karet pada populasi normal menunjukkan penaungan yang berat bagi kakao sehingga hasil buahnya sangat rendah. Pengamatan di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao pada tanaman karet yang berumur 30 tahun dengan jarak tanam 3 x 7 menunjukkan penerusan cahaya oleh tajuk karet hanya sebesar 33,58 – 48,95% terhadap penyinaran langsung. Kakao yang ditanam di antara dua lajur karet pada jarak dalam baris 3 m menunjukkan pertumbuhan vegetatif yang sehat. Namun, hasil buah pada umur 3,5 tahun hanya 3,69 – 4,60 buah/pohon/semester. Sampai umur 3,5 tahun tersebut tidak terdapat gejala keracunan tanaman kakao oleh karet tua.

5. Pinang

Di India tanaman kakao secara luas ditanam di bawah tanaman pinang (Areca catechu). Tanaman ini mempunyai tajuk yang tinggi. Pada jarak tanam 4 x 4 m (setengah dari populasi normal) sistem perakarannya tidak tumpang-tindih (overlaping) dengan sistem perakaran kakao. Sementara itu, dengan pola tersebut hasil pinang per pohon meningkat dan hasil kakao pun cukup baik.

6. Tanaman Kayu

Di Ivory Coast, jenis tanaman penaung kakao rakyat yang digunakan mempunyai banyak fungsi, antara lain sebagai sumber bahan pangan, obat tradisional, dan kayu bakar. Model pengembangan kakao adalah semi-intensif dengan sistem agroforestry karena memiliki keunggulan berupa masukan rendah dan risiko kecil. Dengan model tersebut, produktivitas kakao tidak maksimal, tetapi pekebun memperoleh kompensasi dari hasil tanaman penaung dan kelangsungan usaha taninya lebih terjamin. Pola seperti ini sudah berkembang di perkebunan rakyat Indonesia. Mereka menanam kakao di pekarangan dengan beragam spesies dan fungsi.

Pengembangan perkebunan dengan pola tersebut lazim disebut dengan pola konservasi. Pola konservasi bertujuan untuk memperoleh kondisi fisik dan daya dukung lahan. Dengan pola konservasi, budidaya tanaman perkebunan dikombinasikan dengan tanaman penyangga lingkungan atau dengan pergiliran tanaman kayu-kayuan yang bersifat fast-growing (pertumbuhannya cepat) dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Kayu akan menjadi komoditas strategis dan nilainya akan terus meningkat.

Beberapa spesies tanaman kayu yang telah lazim diusahakan bersama dengan kakao adalah sengon (Paraseriantes falcataria), jati (Tectona grandis), dan mahoni (Mahagony sp.). pengembangan diversifikasi kakao dengan tanaman kayu industri dapat membantu fungsi hutan sebagai penyangga lingkungan. Pola tanam diversifikasi merupakan pilihan yang menjanjikan karena selain tidak memerlukan perawatan yang intensif, daur produksi sengon relatif pendek sehingga dapat dipakai sebagai target pendapatan jangka menengah. Sementara itu, tanaman jati dan mahoni lebih berfungsi sebagai tanaman sela yang memiliki nilai tinggi sebagai investasi jangka panjang.

Tanaman kayu dapat dibuat pagar ganda dengan konsekuensi populasi tanaman kakao berkurang. Peningkatan populasi tanaman penghasil kayu disarankan ditanam di lahan yang kesesuaiannya S3 (sesuai dengan banyak kendala) untuk komoditas kakao.

7. Pisang

Pisang (Musa sp.) sering dipilih sebagai penaung tanaman kakao muda, bukan karena fungsi penaungnya yang baik, tetapi atas dasar tanaman ini sangat mudah ditanam dan memberikan pendapatan yang tinggi. Lazimnya pisang ditanam dengan jarak tanam yang sama dengan kakao. Tanaman pisang akan memberikan penaungan setelah berumur 6 – 9 bulan. Setelah berumur satu tahun, tanaman pisang mulai berbuah dan dapat memberikan produksi 1.000 tandan setiap hektar selama satu tahun.

Di Trinidad dan Brasil, pisang dianjurkan sebagai penaung tanaman kakao muda. Pemakaian pisang disebabkan oleh curah hujan di kedua daerah tersebut tinggi dan kelembapan tanah lebih baik dibandingkan di Nigeria. Pemakaian pisang sebagai pohon penaung sementara bagi kakao dapat dipertahankan selama tajuk tanaman kakao masih terbuka.

Hasil pengamatan di Pusat Penelitian Kakao Indonesia yang membandingkan pisang mas, cavendis, dan kayu menunjukkan pertumbuhan kakao muda dipengaruhi oleh kultivar pisang yang ditanam. Dari tolok ukur diameter batang kakao tampak bahwa kakao yang ditanam di bawah pisang mas pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan dengan yang ditanam di bawah kultivar pisang kayu dan cavendish. Sebagai penyebabnya adalah intensitas cahaya yang diterima kakao lebih tinggi sebagai akibat dari sosok (habitus) pisang mas yang lebih kecil daripada pisang kayu dan cavendish.

Dari aspek populasi, pisang tidak menampakkan pengaruh yang jelas terhadap pertumbuhan kakao muda. Namun, dari aspek pendapatan, semakin tinggi populasi semakin besar pendapatannya. Dengan pertimbangan teknis dan ekonomis, jarak tanam pisang 3 x 6 m adalah paling optimum untuk kakao yang jarak tanamnya 3 x 3 m.

Tanaman pisang akan berbunga setelah berumur delapan bulan, selanjutnya 3 – 4 bulan kemudian buah pisang siap dipanen. Ketika bibit kakao dipindah ke lapangan, pemilik kebun telah dapat memperoleh pendapatan dari buah pisang. Panen buah pisang dapat dilakukan setiap 6 – bulan sekali, bergantung pada pengaturan umur anakan pisang.

Keuntungan lain yang penting adalah batang pisang merupakan mulsa yang efektif dalam mengonservasi kelembapan tanah. Kadar air dalam batang palsu pisang sangat tinggi, yaitu 95,63 – 96,44%, dalam pelepah 85,82 – 88,87%, dan dalam helai daun 73,80 – 82,23% bergantung pada kultivarnya. Selain melembapkan, limbah tanaman pisang juga mengandung unsur hara. Unsur hara makro terbanyak yang dikandung limbah pisang adalah K, diusulkan Ca, N, SO4, dan paling sedikit P.

Pemakaian limbah tanaman pisang sebagai mulsa kakao merupakan upaya efisiensi dalam siklus unsur hara dan bahan organik. Sampai saat ini, pemakaian mulsa batang pisang tidak menimbulkan efek negatif pada tanaman kakao.

8. Garut

Tanaman garut (Maranta arundinacea) dapat diusahakan selama persiapan lahan sampai tanaman kakao muda. Spesies ini mudah ditanam, dapat ditanam dilarikan pohon penaung dengan jarak antar-rumpun 30 cm. Tanaman in terbukti toleran terhadap penaung, dengan tingkat penaungan sebesar 88% pada musim hujan. Ternyata hasilnya tidak berbeda dengan tingkat penaungan yang lebih ringan. Tingkat penaungan 50% tidak memengaruhi pertumbuhan tanaman, hasil rizom, dan kadar pati garut.

Berdasarkan hasil pengamatan, dibuktikan tanaman garut masih cukup toleran ditanam di bawah tanaman kakao yang telah berumur sekitar enam tahun atau sudah menghasilkan. Perawatan yang diperlukan untuk pola tanaman ini adalah pemangkasan sebagian (siwingan) tajuk tanaman kakao yang menaungi tanaman garut, khususnya selama pertumbuhan awal bibit garut dan selama musim hujan. Dengan cara ini, intensitas penaungan tidak terlalu tinggi. Hasil pengukuran intensitas cahaya di atas tajuk tanaman garut sebesar 40% terhadap penyinaran langsung.

Tanaman garut sangat mudah ditanam, bibit dapat berupa pangkal rizom-rizom tua atau pangkal batangnya. Pemeliharaan terbatas pada pertumbuhan setelah tanaman berumur dua bulan. Pendapatan yang dihasilkan diduga lebih besar jika dijual dalam bentuk pati, mengingat perbedaan harga rizom dengan pati cukup besar. Hasil rizom sudah dapat diperoleh setelah berumur 10 bulan. Umbi garut dipanen pada musim kemarau setelah batangnya mengering. Kualitas patinya cukup tinggi dan memiliki potensi untuk menggantikan tepung terigu. Prospek ekonomi tersebut tampaknya tidak berlebihan asalkan diikuti dengan promosi pasar yang baik. Walaupun tujuan utama budidaya garut adalah menghasilkan pati, tetapi residu garut potensial menghasilkan produk lainnya.

Peluang kompetisi, khususnya terhadap unsur hara K dan N cukup besar jika garut ditanam di antara kakao yang sudah menghasilkan. Alasannya, kedua jenis hara tersebut menduduki peringkat pertama dan kedua dalam jumlah yang diserap. Urutan hara yang dikandung dalam biji kakao adalah K>N>Mg>Ca>P>Mn>Zn. Kompetisi tersebut normal dalam interaksi antarspesies dalam pola tumpang sari, tetapi intensitasnya dapat dikendalikan dengan mengatur jarak tanam dan pemupukan.

(Sumber : Panduan Budidaya Tanaman Kakao, 2006)

Tuesday, March 18, 2008

2. Tumpang Sari di Perkebunan Kakao

Salah satu jenis tanaman yang paling banyak ditanami bersama dengan kakao adalah kelapa. Dari aspek tanaman kakao, kelapa berperan sebagai tanaman penaung. Tumpang sari kedua jenis tanaman tersebut telah banyak diteliti dan menunjukkan kombinasi yang cukup memuaskan.


1. Tumpang Sari Kakao dengan Kelapa

a. Keuntungan dan Kerugian Tumpang Sari dengan Kelapa

Syarat tumbuh tanaman kelapa dengan kakao secara garis besar sama. Keduanya merupakan tanaman daerah tropis, tumbuh di dataran rendah sehingga menghendaki sifat-sifat iklim dan sifat fisik tanah yang relatif sama.


Perbedaan pokok antara keduanya adalah kebutuhan unsur hara klor (Cl) yang berlawanan. Untuk menopang pertumbuhan dan hasil hasil yang tinggi, tanaman kelapa menghendaki unsur Cl yang cukup. Sebaliknya, bagi tanaman kakao unsur Cl lebih banyak berdampak buruk, baik terhadap pertumbuhan vegetatif maupun buahnya. Perbedaan yang lain adalah kebutuhan ketinggian tempat. Tanaman kelapa akan tumbuh dan berproduksi tinggi jika ditanam di daerah yang ketinggiannya kurang dari 400 mdpl. Namun, kakao dapat di tanam di daerah yang tingginya 0 – 600 mdpl, bahkan lebih dengan produksi yang masih tinggi.


Pengusahaan tanaman kakao di bawah tanaman kelapa merupakan langkah peningkatan efisiensi pemanfaatan sumber daya alam. Dalam pola tanam ini, unsur penting yang digunakan lebih efisien yaitu lahan dan cahaya matahari. Dari aspek lahan, penyebaran akar tanaman kelapa dewasa (umur lebih dari 20 tahun) mencapai kerapatan tinggi hanya sampai batas 2 meter di sekitar pohon dan kedalaman 0 – 60 cm. Pada radius 2 m penyebaran akar kelapa berkisar 76 – 85%. Di luar batas itu, lahan dapat digunakan untuk jenis tanaman lain asalkan toleran terhadap penaungan.


Budi daya tanaman kakao memerlukan pohon penaung yang berfungsi untuk mengurangi intensitas penyinaran, menekan suhu maksimal dan laju evapotranspirasi , serta melindungi tanaman dari angin kencang. Dengan kata lain, pohon penaung berperan sebagai penyangga (buffer) faktor-faktor yang lingkungan kurang menguntungkan pertumbuhan kakao. Tanaman kakao dapat berproduksi tinggi pada kondisi tanpa penaung asalkan semua faktor tumbuh dalam posisi yang optimal. Kenyataannya, kondisi seperti sukar dicapai atau mahal untuk mencapainya. Upaya yang tepat dalam budidaya kakao adalah menggunakan pohon penaung tetapi dengan pengaturan yang baik.


Hasil pengamatan intensitas cahaya matahari di bawah tajuk tanaman kelapa yang berumur 20 tahun dengan jarak tanam 8 x 8 m menunjukkan nilai 60% terhadap penyinaran langsung. Penghambatan kelapa oleh tanaman kelapa tua (umur lebih dari 30 tahun) mencapai 50 – 70% untuk kelapa dalam (103 pohon/ha) dan 60 – 80% untuk kelapa genjah (223 pohon/ha). Kelapa dalam adalah jenis tanaman kelapa yang awal berbuahnya lama. Tinggi penetrasi cahaya matahari dari naungan pohon kelapa berubah seiring dengan umur kelapa, semakin tua umurnya penetrasi cahaya justru semakin besar.


Pengaturan jarak tanam dalam tumpang sari merupakan hal yang sangat penting karena berkaitan langsung dengan tingkat tersedianya energi matahari dan sebaran sistem perakaran. Mengingat konsentrasi perakaran kelapa terletak pada radius 2 m dari pokok pohon, maka jarak minimum tanaman kakao dari pokok kelapa adalah 3 m. Walaupun akar lateral tanaman kakao tumbuh ke samping sampai batas tajuk tanaman, tetapi distribusi akar yang terbanyak hanya sampai jarak 90 – 120 cm dari pokok tanaman. Thong dan Ng juga menyatakan 89% akar lateral kakao terdapat dalam radius 92 cm dari pokok pohon. Karena itu, jarak kakao ke tanaman kelapa selebar 3 m tersebut dipandang cukup optimal.


Selain aspek kompetisi dari sistem perakaran, persaingan dalam penggunaan cahaya matahari juga perlu mendapat perhatian yang besar. Jarak tanam kelapa monokultur yang optimum adalah 8 x 8m (156 pohon/ha) atau 9 x 9 m (123 pohon/ha). Dengan jarak tanam tersebut populasi kelapa dianggap terlalu banyak untuk pola tanam tumpang sari. Jika tanaman kelapa telah terlanjur ditanam dengan jarak tanam yang optimal, pekebunan dapat memotong beberapa pelepahnya untuk mendapatkan intensitas cahaya yang cukup bagi kakao.


Pada dasarnya pemangkasan ini merugikan kelapa, tetapi hasil penelitian purba cit. Witjaksana (1989) membuktikan pengurangan pelepah kelapa dapat dilakukan sampai jumlah 12,5% dari total pelepah (5 – 6 pelepah) atau tersisa 12 – 14 pelepah per pohon. Agar pemangkasan itu tidak terlalu merugikan, disarankan memotong daun yang paling bawah. Menurut Akuba (1994), untuk menopang produksi yang tinggi setiap tanaman kelapa cukup memiliki 18 pelepah daun. Jika diperlukan cahaya yang lebih banyak lagi, populasi kelapa harus dikurangi. Hasil percobaan di Malaysia menunjukkan pengurangan populasi tanaman kelapa akan menurunkan produksi kelapa tetapi meningkatkan hasil buah kelapa dan kakao per pohon.


Penelitian mengenai tumpang sari kakao dan kelapa di Jawa Timur telah membuktikan bahwa produksi kakao dengan penaung kelapa adalah normal dan cukup mantap seperti pola tanam monokultur. Pramono dan Wignjosoemarto melaporkan hal itu pada jarak tanam kelapa 12 x 8 m atau 104 pohon/ha dan jarak tanam kakao 3 x 2 m atau 1.152 pohon/ha.


Dari suatu hasi penelitian, dinyatakan bahwa dengan mengatur jarak tanam kelapa, kompetisi penggunaan cahaya matahari serta penyerapan air dan unsur hara dapat diperkecil. Karena itu, tanaman kelapa dipakai sebagai penaung kakao yang cukup baik. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan tata tanam yang tepat, yaitu populasi kelapa maksimal 100 pohon/ha, jarak tanam kakao ke kelapa minimum 3 meter, dan polulasi kakao minimum 1.000 pohon/ha. Dalam keadaan darurat, pengaturan penyediaan cahaya matahari agar sesuai dengan kebutuhan kakao dapat dilakukan dengan memangkas sebagian pelepah tua tanaman kelapa.


Sebagai tanaman penaung kakao, kelapa memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan jenis tanaman penaung lainnya. Menurut Bakri et al. (1989) keunggulan tersebut sebagai berikut.

  1. Kelapa relatif tahan kering dan tidak menggugurkan daun selama musim kemarau.


  2. Bentuk tajuk dan sistem perakaran yang kuat menyebabkan kelapa tahan terhadap embusan angin kencang. Peran kelapa sebagai tanaman pematah angin (windbreak) adalah cukup efektif dan ekonomis.


  3. Dari aspek penaungan, tajuk kelapa termasuk mudah diatur. Dengan cara memotong sebagian pelepahnya , jumlah naungan yang dikehendaki mudah disesuaikan. Dalam keadaan normal pemangkasan rutin tidak perlu dilakukan karena pelepah yang sudah tua dan kering akan gugur dengan sendirinya sehingga tidak akan terjadi kelebihan naungan karena jumlah pelepah daun relatif tetap.


  4. Bila tanaman kelapa sudah dewasa akan terdapat jarak yang cukup lebar antara tajuk kelapa dan tajuk kakao. Keadaan ini akan menciptakan sirkulasi udara yang baik sehingga membantu sanitasi kebun secara keseluruhan.


  5. Tanaman kelapa akan memberikan nilai tambah yang mempunyai nilai ekonomis besar baik dari hasil buah, pelepah kering, atau batangnya.


  6. Secara tidak langsung, tanaman kelapa membantu pengendalian helopeltis secara biologis karena semut hitam (Dolichoderus tharacicus) suka bersarang di pohon kelapa sehingga Helopeltis akan terusik dan menyingkir.

Di samping keunggulan yang telah diuraikan, kelapa memiliki beberapa kekurangan yang menyebabkan kekhawatiran pekebun jika digunakan sebagai penaung kakao. Namun, banyak juga penelitian yang membuktikan bahwa kekurangan tersebut bersifat teknis yang dapat diatasi dan secara ekonomi tidak membawa kerugian yang yang berarti.

  1. Persaingan dalam penyerapan air dan hara karena kedua tanaman ini mempunyai penyebaran sistem perakaran yang dekat dengan permukaan tanah. Meskipun demikian, hasil pengamatan di Sumatera yang membandingkan penaung kelapa dengan lamtoro (Leucaena sp.) membuktikan produksi kakao dengan kedua jenis pelindung tersebut relatif sama.


  2. Kemungkinan kerusakan tajuk kakao karena kejatuhan pelepah kering dan buah kelapa.


  3. Kelapa bukan termasuk suku Leguminoceae sehingga tidak dapat menambat N seperti penaung dari jenis lamtoro.


  4. Tanaman kelapa merupakan inang berbagai jenis hama yang juga dapat menyerang kakao, seperti tupai, tikus, berbagai jenis ulat pemakan daun, belalang, dan penyakit Phytophthora palmivora yang sering menyerang umbut kelapa. Penyakit ini sangat berbahaya bagi kelapa karena tanaman yang terserang akan mati.

b. Jenis Kelapa


Untuk mendapatkan jenis naungan yang ideal bagi tanaman kakao perlu dipilih kultivar-kultivar kelapa yang tepat. Kelapa dalam (tall) dan kelapa hibrida adalah jenis yang cocok sebagai tanaman penaung karena cepat tumbuh dan hasil kelapa hibrida lebih banyak. Kelapa yang tajuknya mengarah ke atas seperti jenis tenga dari Sulawesi akan meneruskan sinar matahari lebih banyak dan merata sehingga lebih cocok dibandingkan dengan jenis kelapa yang tajuknya terbuka. Kelapa dengan jumlah pelepah sedikit juga lebih sesuai dibandingkan dengan kelapa yang pelepahnya padat. Untuk memperoleh penaungan yang cukup sepanjang tahun, kelapa dalam polynesia dan karkar yang peka serangan penyakit sebaiknya dihindari.

c. Jadwal Tanam

Dalam pola tanam tumpang sari, jadwal tanam memegang peranan penting karena melibatkan banyak tanaman yang menghendaki syarat tumbuh yang berbeda. Karena sifat fisiologis tanaman kakao menghendaki naungan, sebelum ditanam pohon pelindung harus sudah berfungsi baik. Peranan pohon pelindung (penaung) bagi tanaman kakao muda sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan awal dan produksi.


Untuk mendapatkan pelingung yang cukup, minimum satu tahun sebelum bibit kakao dipindahkan ke kebun, bibit kelapa sudah harus ditanam. Lebih baik lagi jika kelapa ditanam 3 – 4 tahun sebelumnya. Penanaman kelapa yang lebih awal bertujuan agar pertumbuhan tajuk kelapa tidak mengganggu pertumbuhan kakao.


Penaung sementara Gliricidia sp. ditanam bersamaan dengan tanam kelapa atau satu tahun sebelum menanam kakao. Gliricidia sp. diperlakukan sebagai tanaman penaung sementara karena nantinya akan dibongkar setelah tajuk kelapa berfungsi secara optimal. Pertumbuhan cabang Gliricidia sp. perlu diatur sehingga memberikan perlindungan yang cukup. Pada umur tiga bulan, cabang Gliricidia sp. cukup disisakan 3 – 4 cabang yang arah pertumbuhannya ke atas.Setelah bibit kakao ditanam, tanaman penaung Gliricidia sp. perlu dikurangi percabangannya setiap tiga bulan dengan meninggalkan tiga cabang dan menyisakan satu cabang ketika kakao berumur sembilan bulan. Setelah kakao mulai berbunga (umur 18 bulan) populasi Gliricidia sp. dikurangi setengahnya. Setelah kakao berumur empat tahun, semua Gliricidia sp. yang masih tersisa dimusnahkan karena tanaman kelapa telah berfungsi baik sebagai penaung.

    (Sumber : Panduan Budidaya Tanaman Kakao, 2006)

    Monday, March 17, 2008

    1. Pola Tanam dan Tumpang Sari

    Usaha tani kakao selalu menghadapi risiko kegagalan panen akibat serangan hama dan penyakit serta kondisi musim yang tidak mendukung produksi. Fluktuasi harga biji juga kadang-kadang menyebabkan pekebunan kaka menderita kerugian besar. Laju peningkatan faktor input yang pelan tetapi pasti, suatu saat tidak bisa diimbangi oleh peningkatan harga jual produk. Konsekuensinya adalah pekebunan kakao menyesuaikan penggunaan faktor input pada tingkat yang optimal. Padahal tingkatan ini berisiko menurunkan kesehatan tanaman dan tingkat produksi.


    Risiko kegagalan usaha tersebut dapat ditekan dengan menerapkan diversifikasi (penganekaragaman) tanaman. Dalam budi daya kakao, peluang melakukan diversifikasi horisontal cukup luas karena tanaman ini toleran terhadap penaungan. Pemakaian pohon naungan yang produktif serta tanaman sela yang tepat merupakan bentuk diversifikasi yang sebaiknya dikembangkan.


    Satu-satunya cara meningkatkan produktivitas di lahan kering adalah dengan tumpang sari (intercropping). Tumpang sari menjamin berhasilnya penanaman menghadapi iklim yang tidak menentu, serangan hama dan penyakit, serta fluktuasi harga. Selain itu, dengan pola ini distribusi tenaga kerja dapat lebih baik sehingga sangat berguna untuk daerah yang padat tanaga, luas lahan pertanian terbatas, serta modal untuk memberi sarana produksi juga terbatas. Dengan kata lain, usaha tani tumpang sari berarti meminimalkan risiko dan memaksimalkan keuntungan.

    Antar-individu tanaman dan antar jenis tanaman yang diusahakan secara tumpang sari terjadi interaksi dalam mencari faktor tumbuh cahaya, air, dan unsur hara. Interaksi ini sering disebut dengan konpetisi (persaingan). Kompetisi akan lebih para jika salah satu jenis tanaman mengeluarkan zat beracun atau sebagai inang hama dan penyakit.Keragaman penyebaran serta aktivitas sistem perakaran juga menjadi penyebab kompetisi. Dengan begitu, persaingan tersebut sangat kompleks dan merupakan kumpulan dari semua proses yang mengakibatkan tidak meratanya penyebaran faktor tumbuh antar-individu tanaman. Memperhatikan faktor penyebab kompetisi dan untuk menghindari dampak negarif yang ditimbulkannya, pemilihan jenis tanaman yang diusahakan dalam tumpang sari merupakan langkah awal yang sangat penting.

    Beberapa Istilah Penanaman

    Berdasarkan hasil lokakarya pola tanam tanaman pangan pada tahun 1978, beberapa istilah pola tanam yang relevan untuk tanaman keras dapat diuraikan sebagai berikut.

    1. Diversifikasi tanaman yaitu usaha penanaman berbagai jenis dan varietas tanaman di sebidang lahan dengan tujuan memenuhi sebagian besar kebutuhan penanaman.

    2. Pola tanam (cropping pottern) yaitu susunan atau urutan tanaman di sebidang lahan selama periode waktu tertentu.

    3. Tumpang sari (intercropping) yaitu usaha penanaman lebihdari satu jenis tanaman yang ditanam dan tumbuh bersama di sebidang lahan dengan jarak tanam dan larikan yang teratur.

    4. Tanaman campuran (mixed cropping) yaitu usaha penanaman lebih dari satu jenis tanaman di sebidang lahan yang tumbuh bersama tanpa jarak tanam dan larikan yang teratur, tetapi tercampur secara acak.

    5. Tanaman sela (interculture) yaitu usaha penanaman tanaman semusim atau setahun di antara tanaman tahunan.

      (Sumber : Panduan Lengkap Budidaya Tanaman Kakao, 2006)

      Saturday, March 15, 2008

      7. Pentingnya Bahan Tanam Kakao yang Berkualitas

      Bahan tanam kakao merupakan modal dasar untuk mencapai produksi kakao yang tinggi. Kesalahan pemilihan dan penggunaan bahan tanam akan mengakibatkan kerugian dalam jangka panjang. Karena itu, pemilihan bahan tanam merupakan tindakan awal yang sangat penting dalam budidaya kakao. Pemilihan dan penggunaan bahan tanam kakao unggul perlu diikuti dengan tindakan kultur teknis yang baik. Antara lain meliputi pembibitan, perawatan tanaman di lapangan, dan penanganan pascapanen sehingga usaha budidaya kakao membawa hasil yang optimal dan memuaskan.

      (Sumber : Panduan Budidaya Tanaman Kakao, 2006)

      6. Perawatan dan Pengiriman Benih

      Potensi penyediaan benih kakao hibrida yang benar tidak akan berarti jika tidak diikuti dengan cara perawatan dan pengiriman benih yang baik. Hal ini disebabkan oleh sifat biji kakao termasuk benih rekalsitran (recalcitrant seed) yang cepat kehilangan daya tumbuhnya setelah dikeluarkan dari buah.
      Daya tumbuh benih kakao dapat dipertahankan selama 10 hari jika berada dalam buah. Namun, pengiriman benih dalam bentuk buah biayanya mahal karena 10% berat buah merupakan berat kulit buahnya. Selain itu, cara pengiriman dalam bentuk buah membawa risiko penyebaran hama dan penyakit seperti hama penggerek buah kakao (cacao moth) yang sangat berbahaya.
      Pengiriman benih yang banyak dilakukan adalah dengan menghilangkan daging buah (pulp), menyucihamakan, dan mencampurnya dengan serbuk arang lembap, kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik yang diberi lubang aerasi. Dengan cara seperti ini, ternyata masih banyak benih yang berkecambah selama penyimpanan atau pengiriman. Penyebabnya adalah faktor lingkungan seperti air dan oksigen masih berpengaruh.
      Benih yang berkecambah dalam pengiriman tidak disukai karena banyak yang akarnya telah tumbuh panjang dan bengkok sehingga mudah rusak ketika ditanam. Selain itu, pertumbuhan bibit yang bengkok akan abnormal. Cara pengiriman seperti di atas menyebabkan jumlah benih yang berkecambah selama pengiriman mencapai 97%, 99,4%, dan 99,5%, masing-masing selama penyimpanan 7, 14, dan 28 hari. Persentase benih yang tumbuh di bedengan pasir menurun dengan lamanya penyimpanan, yaitu 82,3% pada penyimpanan tujuh hari, 24,4% pada penyimpanan 14 hari, dan 0% pada penyimpanan 28 hari. Karena itu, dengan cara penyimpanan seperti ini, dalam waktu dua minggu saja persentase perkecambahan benihnya sudah sangat kecil (kurang dari 25%).
      Cara pengiriman benih kakao yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (PPKKI) di Jember adalah dalam bentuk biji tanpa kulit (pelet seed). Pengiriman cara ini dilakukan dengan menghilangkan daging buah dan mengupas kulitnya. Selanjutnya, benih tanpa kulit diberi perlakuan dengan fungisida dan dikeringanginkan. Setelah kering angin, benih dimasukkan ke dalam kantong plastik yang utuh (tidak berlubang).Setiap kantong plastik berisi 500 benih. Kantong plastik yang berisi benih dipak dalam karton yang dapat memuat 10 kantong plastik. Di sekeliling kantong plastik diisi dengan serbuk gergaji kering yang berfungsi untuk mencegah perubahan suhu yang tinggi selama pengiriman. Dengan cara pengiriman seperti ini, ketersediaan air dan oksigen dibatasi, sehingga perkecambahan benih selama penyimpanan atau pengiriman dapat dicegah tanpa harus mengurangi daya tumbuhnya.
      (Sumber : Panduan Budidaya Tanaman Kakao, 2006)

      5. Penyediaan Benih Kakao Hibrida

      Benih kakao hibrida dapat dihasilkan dari persilangan buatan (hand pollination) atau dengan persilangan terbuka (open pollination). Penyediaan benih dalam jumlah besar umumnya diperoleh dari kebun benih dengan cara persilangan alami. Hal ini disebabkan adanya sifat ketidaksesuaian (inkompatibilitas) pada tanaman kakao sehingga memungkinkan terjadinya persilangan alami klon-klon terpilih di dalam kebun benih yang telah disusun dan dirancang dengan susunan dengan tata tanam tertentu.
      Berikut nama produsen benih yang telah ditetapkan pemerintah dan klon tertua yang digunakan.
      • Pusat Penelitian : ICS 1, ICS 60, DR 1, GC 7, Sca 6 dan Sca 12.
      • Pusat Penelitian : TSH 858, TSH 908, ICS 60, IMC 10, IMC 67, Pa 150, PA 300, Sca 12.
      • PTP II, Sumatera Utara : TSH 539, TSH 654, TSH 858, TSH 908, ICS 60, IMC 67, Pa 50, dan Sca 12.
      • PTP IV, Sumatera Utara : Na 32, Na 33, Pa 35, ICS 60, dan Aml.
      • PTP XIII, Jawa Barat : Amelonado Afrika Barat.
      • PTP XVIII, Jawa Tengah : Amelonado Afrika Barat.
      • PT Hasfarm, Kalimantan Timur : Na 32, Na 33, Na 34, UIT 1.36A, Pa 35, 354 A.IMC 67, dan Sca 12.
      • PT Margasari Jaya, Jawa Timur : ICS 60, GC 7, Sca 6, dan Sca 12.
      • PT London, Sumatera Utara : Pa 121, Pa 300, Pa 303, Pa 310, GS 29, UF 667, UF 713, BLC 3, BLC 4, BL 621, dan BL 693.
      • PT Jember Indonesia, Jawa Timur : ICS 60,GC 7, DR 1, Sca 6 dan Sca 12.
      • PT Adi Jaya Mulia, Sulawesi Utara : UIT 1 dan Sca 12.
      • PTP X, Lampung : TSH 858, TSH 908, ICS 60, IMC 67, dan Pa 150.
      • PT Ladongi, Sulawesi Tenggara : Na 32, Na 33, Na 34, UIT 1, Sca 12, Pa 35, 246 A, dan 461 A.

      Untuk memenuhi kebutuhan bahan tanamn benih kakao hibrida, Direktorat Jendral Perkebunan telah menunjuk dan menetapkan beberapa produsen benih yang terdiri atas pusat penelitian perkebunan, perusahaan perkebunan negara, atau perkebunan besar swasta. Beberapa podusen benih kakao hibrida yang telah ditunjuk dan ditetapkan pemerintah beserta jenis klon tertua yang digunakan tertera pada daftar di atas.

      (Sumber : Panduan Budidaya Tanaman Kakao, 2006)

      4. Beberapa Hasil Seleksi Ketahanan

      Salah satu penyakit utama kakao adalah penyakit busuk buah. Beberapa pengujian menunjukkan klon Sca 6 dan Sca 12 tahan terhadap penyakit busuk buah Phytophtora. Hal serupa juga ditunjukkan oleh hasil pengujian berikut ini.
      Kakao hibrida keturunan klon yang tahan terhadap penyakit busuk buah seperti Sca 6 dan Sca 12 cenderung memiliki ketahanan yang tinggi terhadap penyakit busuk buah. Menurut Ang dan Shepherd (1978), kakao hibrida keturunan Sca 12 cenderung memiliki ketahanan yang tinggi terhadap penyakit VSD yang disebabkan oleh jamur Oncobasidium theobromae. Klon ini juga tahan terhadap penyakit anthrak-nosa yang disebabkan oleh jamur Colletotrichum. Dari hasil pengamatan di lapangan dan hasil uji di laboratorium, klon Sca 6 dan Sca12 juga cenderung memiliki tingkat ketahanan yang tinggi terhadap penyakit utama. Menurut Sulistyowati (1988), klon Sca 6, Sca 12, dan ICS 6 memiliki ketahanan yang tinggi terhadap serangan hama Helopeltis antoni. Ketahanan terhadap penyakit ini akan diwariskan kepada keturunannya. Mengingat ketahanannya terhadap hama dan apenyakit tersebut, klon Sca 6 dan Sca 12 sering digunakan sebagai sumber gen ketahanan dalam persilangan untuk menghasilkan kakao hibrida unggul, meskipun memiliki biji yang kecil.
      (Sumber : Panduan Budidaya Tanaman Kakao)

      Sunday, March 9, 2008

      3. Pemuliaan Untuk Mendapatkan Bahan Tanam Unggul

      Untuk mendapatkan bahan tanam unggul kakao diperlukan usaha pemuliaan tanaman yang dilakukan dalam waktu cukup lama. Upaya tersebut meliputi kegiatan koleksi plasma nutfah, pengujian klon dan pengujian keturunan, serta pemilihan individu pohon terpilih untuk menghasilkan klon baru.

      Kegiatan tersebut dilakukan secara berkesinambungan agar diperoleh bahan tanam unggul yang bersifat sebagai berikut:

      1. Potensi produksi tinggi dan cepat menghasilkan buah.

      2. Kualitas dan mutu hasilnya sesuai dengan keinginan konsumen.
      • Berat per biji kakao kering lebih dari 1 gram.
      • Kandungan lemak biji lebih dari 55%.
      • Persentase kulit ari kurang dari 12%.

      3. Toleran terhadap hama dan penyakit.

      1. Koleksi Plasma Nutfah

      Koleksi plasma nutfah merupakan sumber material genetis yang penting dalam usaha pemuliaan tanaman untuk menghasilkan bahan tanam unggul. Koleksi plasma nutfah kakao dibuat dalam bentuk pertanaman atau kebun koleksi yang tersusun atas macam-macam klon kakao. Untuk memperkaya sumber daya genetik, usaha koleksi dan eksplorasi plasma nutfah kakao terus dilaksanakan dengan melakukan koleksi klon-klon lokal, introduksi klon dari luar negeri, atau klon-klon baru dari hasil seleksi pohon secara individu.

      2. Pengujian Klon Kakao

      Mendapatkan bahan tanam yang memiliki sifat sesuai dengan yang diinginkan perlu dilakukan pengujian dan seleksi. Tindakan ini dapat dilakukan dengan mengamati percobaan pengujian klon-klon kakao sebagai berikut.

      • Pertumbuhan dan prekositasnya (sifat cepat atau lambat dalam pembungaan dan pembuahan awal).
      • Daya hasil dan mutu hasilnya.
      • Ketahanan terhadap serangan hama dan penyakit utama dari hasil pengujian klon dapat diperoleh klon-klon terpilih yang dapat digunakan sebagai bahan tanam atau bahan persilangan dalam pembuatan kakao hibrida.

      3. Persilangan Antar Klon dan Pengujian Kakao Hibrida

      Tanaman kakao memiliki keragaman yang tinggi, baik bentuk buah, warna buah, besar biji, maupun ketahanannya terhadap hama dan penyakit. Menurut Wood (1975), jika dua tanaman hasil seleksi dari populasi yang secara genetis berbeda akan muncul sifat hibrida kuat (hybrid vigor) dan tanaman hibridanya memiliki sifat pertumbuhan yang pertumbuhannya cepat (jagur) serta produktivitasnya tinggi. Karena itu, untuk mendapatkan bahan tanam kakao unggul dapat dilakukan persilangan antar klon kakao yang telah terseleksi dan memiliki sifat unggul tertentu. Contohnya, persilangan antar klon DR, ICS, TSH, dan UIT yang memiliki biji besr dengan klon Sca 6 atau Sca 12 yang memiliki biji kecil tetapi tahan terhadap penyakit utama kakao seperti penyakit busuk buah Phytophtora palmivora.
      Pada persilangan tersebut, klon yang berbiji besar digunakan sebagai pohon induk, sedangkan klon yang tahan terhadap penyakit digunakan sebagai sumber pollen atau pohon pejantan. Dari hasil persilangan ini diharapkan dapat dihasilkan tanaman hibrida yang memiliki daya hasil tinggi, mutu baik (biji besar), serta tahan terhadap hama dan penyakit.
      Dari hasil persilangan antar klon di atas, tanaman hibrida masih harus melalui beberapa tahap pengujian seperti pengujian klon. Hibrida terpilih dapat diperbanyak dikebun benih untuk menghasilkan bahan tanam kakao hibrida unggul.

      4. Seleksi Pohon Induk

      Selain beberapa usaha di atas, untuk mendapatkan klon baru yang memiliki daya hasil lebih tinggi perlu dilakukan seleksi individu pohon untuk memperoleh pohon induk terpilih. Dari pengamatan secara invidual, pohon kakao yang memiliki daya hasil lebih dari 200% dibandingkan dengan rata-rata daya hasil populasinya dapat dipilih sebagai pohon induk. Pohon kakao yang terpilih tadi dimasukkan ke dalam kebun koleksi dan digunakan untuk pengujian lebih lanjut.

      (Sumber : Panduan Budidaya Tanaman Kakao, 2006)

      2. Cara Perbanyakan Tanaman Kakao

      A. Perbanyakan Secara Generatif

      Tanaman kakao dapat diperbanyak secara generatif dan vegetatif. Untuk perbanyakan secara generatif digunakan bahan berupa biji dan benih. Perbanyakan secara generatif akan menghasilkan tanaman kakao semaian dengan batang utama ortotrop (pertumbuhan cabang atau tunas yang mengarah ke atas) yang tegak, mempunyai rumus daun 3/8, dan pada umur tertentu akan mempunyai jorket (jorquet) dengan cabang-cabang plagiotrop yang mempunyai rumus daun ½. Rumus daun 3/8 artinya sifat duduk daun seperti spiral denga letak duduk daun pertama sejajar sejajar dengan daun ketiga pada jumlah daun delapan. Sementara itu, rumus daun ½ artinya sifat duduk daun berseling denga letak daun pertama sejajar kembali setelah daun kedua.
      Untuk budidaya, perbanyakan tanaman kakao secara generatif dengan menggunakan benih yang berasal dari sembarang biji tidak dibenarkan. Benih diambil dari tanaman kakao produksi, baik pada pertanaman kakao klonal maupun pertanaman kakao hibrida. Jika biji ini ditanam akan menghasilkan tanaman dengan tingkat segresi (pemisahan sifat) yang sangat beragam, sehingga produktivitas dan mutu hasilnya tidak menentu. Biji kakao yang baik untuk benih adalah berukuran besar, bernas (tidak kosong), bebas dari hama dan penyakit, dan biji tidak kadaluwarsa.
      Jenis kakao yang dapat dianjurkan untuk perbanyakan secara generatif adalah jenis kakao hibrida yang tanaman hibridanya telah teruji mempunyai produktivitas tinggi dan tahan terhadap hama penyakit. Pada saat ini, tanaman kakao yang diperbanyak dengan menggunakan bahan tanam benih kakao hibrida adalah jenis kakao lindak.Perbanyakan generatif bisa dilakukan dengan dua cara, yakni secara buatan (hand pollination) dan alami (open pollination). Perbanyakan secara buatan dilakukan dengan menyilangkan dengan tangan antara dua tanaman kakao. Serbuk sari jantan tanaman kakao ditempelkan pada kepala putik tanaman kakao lainnya. Sementara itu, perbanyakan secara alami biasanya dilakukan oleh lalat yang menempelkan serbuk sari jantan pada kepala putik tanaman kakao lainnya di kebun benih hibrida yang telah dirancang tanaman dan pola tanamannya.

      B. Perbanyakan Secara Vegetatif

      Bahan yang digunakan untuk perbanyakan secara vegetatif bisa berupa akar, batang, cabang, bisa juga daun. Sampai saat ini bagian vegetatif bagian vegetatif tanaman kakao yang banyak digunakan sebagai bahan tanam untuk perbanyakan vegetatif adalah batang atau cabang yang disebut dengan entres (kayu okulasi). Ciri entres yang baik antara lain tidak terlalu muda dan tua, ukurannya yang relatif sama dengan batang bawah, tidak terkena hama dan penyakit, dan masih segar.
      Perbanyak vegetatif tanaman kakao dapat dilakukan dengan cara okulasi, setek, atau kultur jaringan. Perbanyakan vegetatif yang dilakukan adalah dengan cara okulasi, karena penyetekan masih sulit dilakukan di tingkat perkebun. Sementara itu, perbanyakan secara kultur jaringan masih dalam penelitian. Okulasi dilakukan dengan menempelkan mata kayu pada kayu batang bawah yang telah disayat kulit kayunya dengan ukuran tertentu, diikat, dan dipelihara sampai menempel dengan sempurna walaupun tanpa ikatan lagi.
      Tanaman kakao hasil perbanyakan vegetatif memiliki bentuk pertumbuhan yang sesuai dengan entres yang digunakan. Jika entres berasal dari cabang ortotrop, tanaman yang dihasilkan akan mempunyai pertumbuhan seperti tanaman yang berasal dari biji. Jika entres berasal dari cabang plagiotrop, pertumbuhan tanaman yang dihasilkan akan seperti cabang plagiotrop dengan bentuk pertumbuhan seperti kipas.
      Perbanyakan vegetatif akan menghasilkan tanaman yang secara genetis sama dengan induknya sehingga akan diperoleh tanaman kakao yang produktivitas serta kualitas seragam. Karena itu, penggunaan bahan tanam vegetatif yang berasal dari klon-klon kakao yang sudah teruji keunggulannya akan lebih menjamin produktivitas dan kualitas biji kakao yang dihasilkan.Perbanyakan biji kakao secara vegetatif telah lama dilakukan pada tanaman kakao mulia dengan cara okulasi dan menggunakan bahan tanam berupa entres klon-klon unggul dari jenis DR 1, DR2, dan DR 38. Perbanyakan vegetatif dengan cara okulasi dapat dilakukan pada tanaman kakao lindak dengan menggunakan bahan tanam berupa entres (kayu okulasi) klon-klon kakao lindak.

      (Sumber : Panduan Budidaya Tanaman Kakao, 2006)

      1. Bahan Tanam

      Tanaman kakao (Theobroma cacao L.) merupkan tanaman tahunan. Jika dibudidayakan dengan baik dapat memberikan produksi yang menguntungkan sampai umur yang panjang. Berdasarkan hasil penelitian di tujuh kebun kakao di Jawa Timur, menyebutkan produksi puncak kakao dapat dicapai pada umur 10 – 20 tahun. Keuntungan nominal rata-rata pertahun terbesar dapat diperoleh jika tanaman kakao diusahakan sampai umur 37 tahun.
      Pertumbuhan dan produksi sebagai suatu fenotipe tanaman merupakan interaksi antara faktor genetis tanaman dan lingkungannya. Karena itu, pertumbuhan dan produktivitas kakao ditentukan oleh sifat genetis bahan tanamannya dan interaksinya dengan lingkungan tempat tumbuhnya. Produksi potensial ditentukan oleh sifat genetis bahan tanam yang digunakan, sedangkan produksi aktual di lapangan ditentukan oleh lingkungan tempat tumbuhnya, baik berupa kesesuaian maupun cara budidayanya. Selain pemilihan lahan yang sesuai dan cara budidaya yang baik, pemilihan bahan tanam merupakan modal dasar untuk mendapatkan produksi kakao yang tinggi.
      Tanaman kakao dikenal sebagai inang berbagai jenis hama dan penyakit. Adanya hama penyakit dapat menjadi kendala penting dalam budidaya kakao. Untuk mengatasi kendala tersebut, penggunaan bahan tanaman unggul yang toleran (salah satu komponen dalam pengendalian hama penyakit secara terpadu) akan memiliki peran yang penting. Alasannya, selain dapat mengurangi kehilangan hasil akibat serangan hama dan penyakit, penggunaan bahan tanam unggul yang toleran dapat mengurangi penggunaan pestisida sehingga akan mengurangi biaya pemeliharaan tanaman secara keseluruhan. Selain itu, pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida dapat dikurangi.Selain tanaman yang dapat dibudidayakan sampai umur panjang dan sebagai inang dari berbagai macam hama dan penyakit, kesalahan dalam pemeliharaan bahan tanam akan membawa risiko kegagalan. Menghindari risiko tersebut, pemilihan dan penggunaan bahan tanam unggul merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan dan merupakan modal dasar untuk mencapai produktivitas sesuai dengan yang diharapkan.
      (Sumber : Panduan Budidaya Tanaman Kakao, 2006)

      3. Penilaian Kesesuaian Lahan Kakao

      1. Iklim

      Iklim merupakan faktor yang meliputi curah hujan, suhu, kelembapan udara, penyinaran matahari, dan kecepatan angin yang antar unsur tersebut mempunyai hubungan yang rumit. Iklim mempengaruhi pertumbuhan dan produksi kakao. Karena itu, unsur ini perlu diperhatikan dalam membuat penilaian kesesuaian lahan. Sebaran curah hujan lebih berpengaruh terhadap produksi kakao dibandingkan dengan jumlah curah hujan yang tinggi. Alvim (1979) menunjukkan bahwa keragaman produksi kakao dari tahun ke tahun lebih ditentukan oleh sebaran curah hujan dari pada oleh unsur iklim yang lain. Jumlah curah hujan memengaruhi pola pertunasan kakao (flush). Curah hujan yang tinggi dan sebaran yang tidak merata akan berpengaruh terhadap flush dan berakibat terhadap produksi kakao.
      Pertumbuhan dan produksi kakao banyak ditentukan oleh ketersediaan air sehingga kakao dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di tempat yang jumlah curah hujannya relatif sedikit tetapi merata sepanjang tahun. Pengelolaan air khususnya pada musim kemarau di tanah yang daya simpan airnya rendah menentukan produksi kakao.
      Proses fisiologi tanaman kakao juga dipengaruhi oleh suhu udara. Suhu udara yang rendah akan menghambat pembentukan tunas dan bunga (Alvim, 1979) sedangkan suhu udara yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan pucuk dan mendorong pertumbuhan cabang serta mengakibatkan daun-daun kurang berkembang (Wood, 1975). Kelembapan udara berkaitan erat dengan curah hujan dan suhu udara. Unsur ini berhubungan dengan timbulnya penyakit yang menyerang kakao. Pada curah hujan yang tinggi, 3 – 6 hari berturut-turut akan menyebabkan kelembapan udara tinggi dan munculnya cendawan Phytophthora palmivora yang menjadi penyebab penyakit busuk buah.
      Kecepatan angin juga menentukan keberhasilan usaha tani kakao. Kecepatan angin yang tinggi dan berlangsung lama jelas akan merusak daun kakao, sehingga rontok dan tanaman menjadi gundul. Kerusakan kakao karena angin tersebut akan mempunyai dampak terhadap turunnya produksi kakao. Di daerah pegunungan yang setiap dua tahun sekali dari bulan Januari hingga Maret bertiup angin kencang bisa mengakibatkan kerusakan pertanaman kakao, sehingga produksinya hanya setengah dari potensinya.

      2. Tanah

      Sifat-sifat tanah yang memengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman adalah sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Sifat kimia tanah meliputi kadar unsur hara mikro dan makro dalam tanah, kejenuhan basa, kapasitas pertukaran kation, pH atau kemasaman tanah, dan kadar bahan organik relatif mudah diperbaiki dengan teknologi yang ada. Sementara itu, sifat fisik tanah yang meliputi tekstur, struktur, konsistensi, kedalaman efektif tanah (solum), dan akumulasi endapan suatu unsur (konkresi) relatif sulit diperbaiki meskipun teknologi perbaikannya telah ada. Sifat biologi tanah belum menjadi pertimbangan dalam melakukan penilaian kesesuaian lahan, karena hubungannya belum banyak diketahui secara pasti. Secara tidak langsung sifat tersebut memengaruhi pertumbuhan tanaman.
      a. Sifat Kimia Tanah
      Keasaman (pH) tanah yang baik untuk kakao adalah netral atau berkisar 5,6 – 6,8 (Ackenhorah, 1979). Sifat ini khusus berlaku untuk tanah atas (top soil), sedangkan pada tanah bawah (subsoil) keasaman tanah sebaiknya netral, agak asam, atau agak basa. Tanah dengan keasaman tinggi menyebabkan kadar unsur hara mikro, seperti Al, Fe, dan Mn terlarut sehingga dapat menjadi racun bagi kakao. Tanah-tanah tua dengan tingkat pelapukan tinggi, umumnya bersifat asam dan mengandung Al tinggi yang mudah diserap tanaman, sehingga akan menghambat perkembangan akar dan pertumbuhan tanaman.
      Tanaman kakao membutuhkan tanah berkadar bahan organik tinggi, yaitu diatas 3%. Kadar bahan organik yang tinggi akan memperbaiki struktur tanah, biologi tanah, kemampuan penyerapan (absorpsi) hara, dan daya simpan lengas tanah. Tingginya kemampuan absorpsi menandakan bahwa daya pegang tanah terhadap unsur-unsur hara cukup tinggi dan selanjutnya melepaskannya untuk diserap akar tanaman.
      Kadar hara makro dan mikro yang diperlukan tanaman harus dalam jumlah cukup untuk mendukung pertumbuhan dan produksi kakao. Setiap variasi umur kakao menghendaki jenis dan jumlah hara yang berbeda.Kemampuan tukar kation merupakan kemampuan tanah untuk menyerap hara dan melepaskan kembali untuk diserap akar. Tanah yang baik untuk kakao menghendaki kemampuan tukar kation yang tinggi karena umumnya tanahnya subur demikian juga dengan kejenuhan basanya. Semakin tinggi kejenuhan basanya, tanah tersebut semakin subur dan baik untuk kakao.
      b. Sifat Fisik Tanah
      Jeluk mempan atau kedalaman tanah yang dapat dijangkau akar secara aktif (effective depth) tidak identik dengan ketebalan solum tanah. Ketebalan solum merupakan cerminan ketebalan tanah hasil proses perbentukan tanah. Kedalaman efektif adalah tebalnya lapisan tanah yang dapat mendukung pertumbuhan akar secara leluasa. Jeluk mempan ditentukan oleh ada tidaknya atau posisi lapisan padas keras, lapisan kerikil, atau bongkahan batu yang tidak dapat ditembus akar. Selain itu, faktor dangkal tidaknya permukaan air tanah juga memengaruhi kedalaman efektif tanah.Tekstur tanah menunjukkan perbandingan tertentu antara tiga fraksi tanah, yaitu pasir, debu, dan lempung. Susunan ketiga komponen tersebut menentukan kemampuan tanah dalam mendukung pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian di Jawa Barat menunjukkan bahwa tekstur tanah nyata memengaruhi daya dukung terhadap kakao. Semakin tinggi kadar lempungnya, semakin rendah daya dukungnya terhadap pertumbuhan kakao (Hardjono, 1989).
      c. Timbulan
      Faktor ini meliputi elevasi, topografi, dan tinggi tempat. Kakao tumbuh baik pada lahan datar atau kemiringan tanah kurang dari 15%. Suhu udara harian idealnya sekitar 28oC, sehingga semakin tinggi tempat semakin rendah tingkat kesesuaiannya. Faktor timbulan yang berpengaruh adalah lereng, ini berkaitan dengan tingkat kesuburan, manajemen pemeliharaan, dan pemanenan.

      3. Klasifikasi Kesesuaian Lahan

      Tujuan penilaian kesesuaian lahan adalah untuk mengetahui potensi sumber daya lahan yang dapat dipergunakan untuk suatu usaha budidaya tanaman tertentu. Pengetahuan tersebut selanjutnya digunakan untuk menentukan tingkat kesesuaian lahan tanaman tertentu, dan dapat menentukan langkah-langkah pengelolaan secara rasional dan optimal serta tetap dapat melestarikan sumber daya lahan tersebut.
      Klasifikasi kesesuaian lahan bertujuan untuk menentukan tingkat kesesuaian lahan suatu tanaman, sehingga diperoleh informasi untuk melakukan tindakan pengelolaan selanjutnya.
      Metode klasifikasi kesesuaian lahan kakao yang digunakan adalah metode yang dikembangkan oleh Food of Agricultural Organization (FAO). Metode ini lebih menekankan pada kondisi lahan pada saat evaluasi, tanpa adanya perbaikan yang berarti. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat sebagai lembaga rujukan utama dalam bidang pertahanan untuk pertanian di Indonesia banyak bekerjasama dengan FAO.Struktur sistem klasifikasi kesesuaian lahan kakao terdiri atas empat kategori sebagai berikut:
      • Ordo kesesuaian lahan (order) menunjukkan jenis atau macam kesesuaian.
      • Kelas kesesuaian lahan (class) menunjukkan tingkat kesesuaian dalam ordo.
      • Sub kelas kesesuaian lahan menunjukkan perbedaan-perbedaan kecil yang diperlukan dalam pengelolaan di dalam subkelas.
      • Satuan kesesuaian lahan menunjukkan perbedaan-perbedaan kecil yang diperlukan dalam pengelolaan didalam subkelas.

      Kesesuaian lahan dalam tingat ordo menunjukkan sesuai atau tidaknya lahan untuk penggunaan tertentu. Karena itu berdasarkan kesesuaian lahannya, ordo dibagi menjadi dua seperti berikut.

      • Ordo S atau Sesuai (suitable). Lahan yang dapat digunakan untuk maksud tertentu, tanpa atau dengan sedikit risiko kerusakan terhadap sumber daya lahannya. Keuntungan yang diharapkan akan melebihi masukan yang diberikan.
      • Ordo N atau tidak sesuai (not suitable). Lahan yang tidak dapat digunakan untuk maksud tertentu karena mempunyai faktor pembatas sedemikian rupa sehingga mencegah penggunaanya secara lestari.

      Kelas kesesuaian lahan terdri atas tiga kelas yang menunjukkan tingkat kesesuaiannya dari kelas yang tertinggi hingga yang terendah.

      • Kelas S1. Lahan yang sangat sesuai, yaitu lahan tanpa faktor pembatas nyata apabila digunakan, atau hanya sedikit pembatas yang tidak secara nyata mengurangi produkstivitas dan keuntungan serta tidak meningkatkan masukan melebihi aras taraf yang dapat diterima.
      • Kelas S2. Lahan yang cukup sesuai, yaitu lahan dengan faktor-faktor pembatas yang apabila bekerjasama akan menghambat dukungan pertumbuhan tanaman tertentu. Penghambat tersebut akan mengurangi produktivitas atau keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan sehingga ada keuntungan keseluruhan yang diperoleh dari penggunaan tersebut.
      • Kelas S3. Lahan yang kurang sesuai, yaitu faktor-faktor pembatas yang apabila bekerjasama akan sangat menghambat dukungan terhadap pertumbuhan tanaman tertentu. Penghambat tersebut sangat mengurangi produktivitas atau keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperoleh dari penggunaan sangat rendah, bahkan tidak untung. Pemakaian lahan kelas ini dipertimbangkan marginal (membutuhkan input besar untuk memperoleh hasil cukup sehingga keuntungan terbatas).

      Subkelas yang mencerminkan jenis faktor pembatas atau perbaikan yang diperlukan dalam kelas (Anonim, 1976). Subkelas dinyatakan dengan simbol huruf kecil yang menyatakan peringatan adanya pembatas tertentu.


      4. Tatacara Penilaian Kesesuaian Lahan Kakao

      Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam melakukan penilaian lahan dan membuat kelas kesesuaiannya meliputi tiga hal sebagai berikut.

      • Mengumpulkan data yang terkait dengan kualitas dan sifat lahan, umumnya dilakukan dalam bentuk survai tanah.
      • Menentukan kebutuhan tanaman sesuai dengan syarat tumbuhnya.Membandingkan antara sifat dan kualitas lahan dengan syarat tumbuh tanaman.

      Seperti halnya langkah penilaian kesesuaian lahan pada umumnya, pada kakao tahapan aktivitas yang sama juga dilakukan. Klasifikasi lahan kakao ini ditekankan pada faktor pembatas, sehingga kelas lahan ditulis berdasarkan faktor pembatas yang ada.

      (Sumber : Panduan Budidaya Tanaman Kakao, 2006)

      2. Penilaian Kesesuaian Lahan

      Sebelum membicarakan tata cara penilaian kesesuaian lahan, perlu diuraikan terlebih dahulu tentang kesesuaian lahan. Langkah awal penilaian kesesuaian lahan adalah melakukan evaluasi sumber daya lahan yang merupakan proses untuk menduga potensi sumber daya lahan untuk berbagai penggunaanya. Caranya adalah dengan membandingkan antara persyaratan yang diperlukan oleh suatu tanaman dan kondisi atau sifat sumber daya lahan yang ada. Dalam evaluasi sumber daya lahan, ada tiga aspek yang penting untuk diperhatikan, yaitu aspek lahan, penggunaan lahan, dan ekonomi.
      Penilaian kesesuaian lahan mempunyai manfaat untuk mengetahui potensi sumber daya lahan dalam mendukung suatu usahatani tertentu dan memprediksi produksi yang dapat diperoleh serta tindakan-tindakan agronomis yang mendukung keberhasilan usahatani.
      Secara umum terdapat dua cara menilai lahan, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Penilaian secara langsung dilakukan dengan percobaan di lapangan, misalnya mencoba menanam suatu tanaman di lahan tertentu kemudian mengevaluasinya. Cara ini memerlukan waktu yang lama dan secara praktik penggunaanya terbatas. Penilaian secara tidak langsung dilakukan dengan melakukan asumsi bahwa ciri lahan suatu tempat (site) dapat memengaruhi keberhasilan penggunaan lahan itu untuk usaha pertanian. Kualitas suatu lahan dapat dipelajari dari hasil pengamatan ciri lahan tersebut.Proses penilaian lahan secara tidak langsung dapat dibagi menjadi beberapa tahapan, dari pencirian lahan yang umumnya dilakukan saat survai tanah, menentukan karakterisasi lahan, hingga menilai kualitas lahan. Kualitas lahan yang dihubungkan dengan syarat tumbuh tanaman akan dapat menilai kesesuaian lahan.
      (Sumber : Panduan Budidaya Tanaman Kakao, 2006)

      1. Kesesuaian Lahan Kakao

      Kakao merupakan tanaman tahunan yang memerlukan lingkungan khusus untuk dapat berproduksi secara baik. Lingkungan alami kakao adalah hutan hujan tropis. Di daerah itu suhu udara tahunan tinggi dengan variasi kecil, curah hujan tahunan tinggi dengan musim kemarau pendek, kelembapan udara tinggi, dan intensitas cahaya matahari rendah (Muray, 1975).
      Kakao saat ini bukan hanya tanaman perkebunan besar tetapi telah menjadi tanaman rakyat. Di Indonesia, menurut data statistik tahun 2002, luas area kakao telah mencapai lebih dari 777.900 hektar. Kakao tersebut tersebar dalam lahan yang beragam dan tingkat produktivitasnya juga sangat beragam.
      Seperti tanaman pertanian lainnya, kakao dapat berproduksi tinggi dan menguntungkan jika diusahakan pada lingkungan yang sesuai. Faktor lingkungan mempunyai andil yang cukup besar dalam mendukung tingkat produktivitas kakao.Pada bagian ini akan di uraikan tentang tata cara menilai lahan dalam kaitannya dengan pemanfaatannya untuk pertanaman kakao, sehingga dalam berusaha tani salah satu faktor penentu keberhasilan dapat diketahui lebih awal dan dapat dilakukan antisipasi pemanfaatan lahan untuk kakao.
      (Sumber : Panduan Budidaya Tanaman Kakao, 2006)

      3. Fisiologi Tanaman Kakao

      1. Fotosintesis

      Habitat asli tanaman kakao adalah hutan tropis basah dan tumbuh di bawah naungan tanaman hutan. Di dalam teknik budi daya yang baik, sebagian sifat habitat aslinya tersebut masih dipertahankan, yaitu dengan memberu naungan secukupnya. Ketika tanaman masih muda, intensitas naungan yang diberikan cukup tinggi, selanjutnya dikurangi secara bertahap seiring dengan semakin tuanya tanaman atau bergantung pada berbagai faktor tumbuh yang tersedia.
      Masih dipertahankannya pemakaian naungan pada budidaya kakao disebabkan oleh tingkat kejenuhan cahaya untuk fotosintesis relatif rendah. Alvim (1977) membuktikan fotosintesis berlangsung optimum pada intensitas cahaya sekitar 60% dari penyinaran langsung.
      Penetapan hasil fotosintesis bersih dapat diketahui dengan menghitung jumlah daun serta mengukur laju penyerapan CO2 per satuan luas daun. Jumlah daun lazimnya dinyatakan dengan LAI (leaf area index) yaitu besaran yang menyatakan nisbah (perbandingan/rasio) antara jumlah luas semua daun dan tanah yang ternaungi. Hasil fotosintesis akan meningkat dengan meningkatnya LAI, tetapi sesungguhnya juga sangat bergantung pada struktur tajuk dan pencahayaan. Daun-daun yang ternaungi tidak optimal dalam melakukan fotosintesis.
      Dari hasil penelitian terhadap kelayuan buah muda (cherelle wilt) dapat dibuktikan bahwa untuk berkembangnya satu buah kakao perlu didukung oleh 8 – 10 lembar daun dewasa yang sehat dan mendapat pencahayaan yang baik. Jika proporsi daun hanya 5 – 6 lembar untuk setiap buah, angka kelayuan buah muda sangat tinggi dan telah terjadi tiga minggu setelah pertumbuhannya (Alvim, 1952). Dibandingkan dengan tanaman keras lainnya, tanaman kakao mempunyai laju fotosintesis bersih yang rendah.
      Hasil penelitian di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia menunjukkan ada perbedaan pada laju fotosintesis kakao lindak dengan kakao mulia. Kakao lindak lebih tahan terhadap penyinaran matahari dan pada kondisi tanpa naungan, laju asimilasi bersih terus meningkat. Sebaliknya, pada bibit kakao mulia laju asimilasi menurun pada intensitas cahaya lebih dari 80%.
      Pada dasarnya, manajemen pemangkasan tanaman kakao dan pengelolaan naungan dimaksudkan untuk memperoleh LAI optimal. Tujuan pemangkasan di samping untuk memperoleh tajuk (kanopi) yang ideal juga untuk meningkatkan aerasi dan penetrasi cahaya ke dalam tajuk tanaman agar distribusi cahaya merata ke seluruh permukaan daun. Sementara itu, pohon naungan berfungsi untuk mengatur persentase penerimaan cahaya sesuai dengan kebutuhan tanaman kakao.
      Telah disebutkan bahwa pada dasarnya kakao adalah tanaman yang suka naungan (shade loving tree), laju fotosintesis optimum berlangsung pada intensitas cahaya sekitar 70%. Murray (1953) yang mengamati hubungan antara intensitas cahaya dan buah dipanen serta hasil biji mendukung pernyataaan tersebut. Namun dalam praktik di kebun, telah dibuktikan bahwa pada tanah yang subur dan faktor-faktor tumbuh yang lain mendukung pertumbuhan tanaman yang baik, hasil biji tertinggi diperoleh pada tanaman tanpa penaung. Tanaman penaung berfungsi sebagai penyangga (buffer) terhadap pengaruh jelek dari faktor lingkungan yang tidak dalam kondisi optimal, seperti kesuburan tanah rendah serta musim kemarau yang tegas dan panjang.
      Hasil fotosintesis tanaman kakaosebagian besar dipergunakan untuk menopang pertumbuhan vegetatif dan hanya sekitar 6% dipergunakan untuk pertumbuhan generatif. Dari bagian yang 6% tersebut tidak seluruhnya menjadi biji yang siap panen sebab sebagian besar buah kakao akan mengalami layu fisiologis yang lazim disebut dengan cherelle wilt. Sekitar sepertiga dari jumlah itu digunakan untuk menghasilkan biji kakao, sisanya untuk pertumbuhan kulit buah dan bunga (Alvim, 1975).
      Proses fotosintesis dan pembentukan jaringan yang baru memerlukan mineral dari dalam tanah. Penyerapan dan penggunaan mineral ini relatif sedikit, lazim 1 : 40 (mineral : asimilat). Peranan hara mineral ini amat penting karena beberapa mineral selain berperan secara struktural, juga berperan fungsional sebagai aktivator sistem enzim. Penelitian di Malaysia menunjukkan bahwa untuk menghasilkan 1.000 kg biji kering, diperlukan hara mineral N 31,0; P 4,9; K 53,8; Ca 4,9; Mg 5,2; Mn 0,11; dan Zn 0,09 (dalam satuan kg/ha/tahun). Jika diperhitungkan dengan jumlah yang diperlukan untuk menopang pertumbuhan dan hasil 1.000 kg/ha/tahun, jumlah tersebut meningkat menjadi N 469,0; P 52,9; K 686,8; Ca 377,9; Mg 134,2; Mn 6,21; dan Zn 1,59 (Thong & Ng, 1978).
      Kakao termasuk tanaman dengan laju fotorespirasi tinggi, yaitu 20 – 50% dari hasil total fotosintesis. Fotorespirasi tidak menghasilkan energi yang bermanfaat bagi tanaman sehingga upaya untuk menekan laju fotorespirasi berarti juga upaya untuk meningkatkan produktivitas, antara lain dengan pemberian pohon naungan.
      Air yang diserap tanaman sebagian besar hilang lewat proses transpirasi (penguapan). Proses ini cukup penting karena berkaitan dengan penyerapan unsur hara dan menjaga suhu tubuh tanaman. Selain lewat proses transiprasi, kehilangan air juga dapat melalui evaporasi. Nilai evapotranspirasi berhubungan dengan suhu rata-rata bulanan dan dirumuskan oleh Alvin (1966) sebagai berikut.

      EP bulanan = (T x 58,93) / 12 mm
      EP = Evapotraspirasi
      T = Rata-rata suhu bulanan (oC)

      Di daerah tropis, nilai EP sekitar 4 – 5 inch (Muray, 1964). Tanaman kakao akan menderita akibat kekurangan air jika curah hujan bulanan lebih rendah dari nilai EP tersebut.
      Agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, tanaman kakao menghendaki suhu yang optimal. Meskipun tanaman kakao berasal dari daerah tropis, tanaman ini tidak tahan suhu yang tinggi. Kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan kakao mulia adalah 18,8 – 27,9 oC, sementara untuk kakao lindak 22,4 – 30,4oC. Suhu yang tinggi mengakibatkan hilangnya dominasi pucuk, klorosis, nekrosis, gugur daun, dan tanaman menjadi kerdil.

      2. Perkembangan Akar

      Pada awal perkecambahan benih, akar tunggang tumbuh cepat dari panjang 1 cm pada umur satu minggu, mencapai 16 – 18 cm pada umum satu bulan, dan 25 cm pada umur tiga bulan. Setelah itu laju petumbuhannya menurun dan untuk mencapai panjang 50 cm memerlukan waktu dua tahun. Kedalaman akar tunggang menembus tanah dipengaruhi keadaan air tanah dan struktur tanah. Pada tanah yang dalam dan berdrainase baik, akar kakao dewasa mencapai kedalaman 1,0 – 1,5 m.Pertumbuhan akar kakao sangat peka pada hambatan, baik berupa batu, lapisan keras, maupun air tanah. Apabila selama pertumbuhan, akar menjumpai batu, akar tungganga akan membelah menjadi dua dan masing-masing tumbuh geosentris (mengarah ke dalam tanah). Apabila batu yang dijumpai terlalu besar, sebagian akar lateral mengambil alih fungsi akar tunggang dengan tumbuh ke bawah. Apabila permukaan air tanah yang dijumpai, akar tunggang tidak berkembang sama sekali.

      3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Pembungaan Akar

      Pembungaan tanaman kakao sangat dipengaruhi oleh faktor dalam (internal) dan faktor lingkungan (iklim). Pada lokasi tertentu, pembungaan sangat terhambat oleh musim kemarau atau oleh suhu dingin. Namun, di lokasi yang curah hujannya merata sepanjang tahun serta fluktuasi suhunya kecil, tanaman akan berbunga sepanjang tahun.
      a. Tanaman Umum
      Awal berbunganya kakao di kebun beragam, bergantung pada sifat genetik dan pemeliharaannya. Tanaman yang dirawat dengan baik dapat mulai berbunga pada umur dua tahun (Alvim, 1984). Periodisitas musim berbunga juga dipengaruhi umur dan berhubungan denga irama pertumbuhan tanaman secara keseluruhan. Pada tanaman yang masih muda dan relatif berbunga terus-menerus, beberapa bunganya selalu tampak pada pohon. Setelah berumur 3 – 4 tahun, tanaman akan berbunga dan bertunas yang berlangsung secara berurutan. Masa tidak berbunga biasanya dimulai 1 – 2 bulan setelah masa tidak bertunas. Hal ini membuktikan bahwa ada hubungan erat dari kedua proses itu (bertunas dan berbunga). Demikian juga, berbunganya tanaman dapat diatur dengan pemangkasan karena pemangkasan selalu diikuti dengan pertunasan. Setelah daun-daun baru menjadi dewasa, karbihidrat dan zat perangsang pembungaan banyak terbentuk untuk menopang pembungaan dan pertumbuhan buah.
      b. Status Nutrisi
      Pengeratan kulit batang (ringing) kakao dapat meningkatkan pembungaan di atas keratan dan mengurangi pembungaan di bawahnya. Tujuan pengeratan ini adalah untuk memblokir aliran nutrisi dari daun ke bagian tanaman lainnya. Dari saat pengeratan sampai tumbuhnya bunga diperlukan waktu sekitar 45 hari. Saling pengaruh antara pengeratan kulit dan status nutrisi ini telah diteliti oleh Vuelker (1938) dan Hutcheon (1973) berdasarkan fenomena bahwa karbohidrat dan ketebatasan metabolisme nitrogen merupakan faktor-faktor fisiologi yang memengaruhi pembungaan.Metode pengeratan kulit batang ini digunakan untuk tujuan tertentu, misalnya menunda atau mengubah pola pembungaan. Di Ekuador, metode seperti ini pernah dianggap efisien untuk mengendalikan penyakit monilia podrot(Monilia roreri) dan witches broom (Crinipellis perniciosa) yang menyerang buah pada musim dan lokasi tertentu.
      c. Korelasi Internal
      Di antara banyak kultivar kakao, dijumpai bunga-bunga yang tidak dapat menjadi buah karena faktor sterilitas dan inkompatibilitas. Di samping itu adanya persaingan antara bunga dan buah dapat mempengaruhi pembungaan. Hal ini terbukti pada saat tanaman tidak berbuah, pembungaan meningkat. Sebaliknya, pada saat tanaman berbuah lebat, pembungaan sangat berkurang (Tjasadiharja, 1980).
      Di Brasil, penelitian persaingan antara buah dan bunga ini telah dilakukan oleh Vogel et al., cit. Alvim (1984). Buah dipetik setiap dua minggu selama dua tahun. Hasilnya adalah intensitas pembungaan meningkat dan ukuran serta umur buah yang ada tidak mempengaruhi intensitas pembungaan. Pertumbuhan vegetatif dapat menyaingi pembungaan.
      Hutcheon (1973) melalui beberapa percobaannya telah membuktikan pentingnya peran karbohidrat dalam proses pembungaan. Hal ini dapat dilihat dari praktik-praktik yang bersifat meningkatkan fotosintesis dan pembungaan, misalnya pembukaan naungan, pemupukan, dan pengairan.Zat pengatur tumbuh yang dihasilkan biji kakao (asam giberelin) dapat menghambat pembungaan. Penghambat (retardan) ini dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan bunga pada saat tertentu dan menunda pembungaan pada saat yang diinginkan. Bahan yang pernah dicoba meliputi Ethrel, Cycocel, Alar, dan Asam Giberelin (Hutcheon, 1973). Pengaruh Ethrel ternyata paling menarik. Konsentrasi 250 ppm atau 500 ppm lebih efektif dari pada konsentrasi 100 ppm, yaitu sebagian besar bunga gugur dua hari setelah aplikasi. Produksi bunga pada minggu-minggu berikutnya juga terhambat dan pengaruhnya tampak pada minggu keenam dan ketujuh.
      d. Aktivitas Kambium
      Aktivitas kambium dapat memengaruhi pembungaan. Dengan bantuan alat dendrometer, Alvim (1984) mengukur kambium setiap minggu dari tahun 1975 sampai tahun 1978. Hasilnya menunjukkan bahwa pada saat aktivitas kambium minimal (juli – oktober), intensitas pembungaan juga minimal. Aktivitas kambium meningkat pada bulan Oktober sampai dengan pertengahan November, pembungaan menyusul 5 – 6 minggu kemudian.
      e. Naungan
      Menurut Asomaning dan Kwaka (1968), semakin ringan tingkat naungan semakin banyak bunga yang tumbuh. Jika tanpa naungan, tanaman berbunga lebih awal dan jumlah bunga lebih banyak. Pada dasarnya, pengaruh naungan terhadap pembungaan tidak langsung. Faktor yang menentukan sebetulnya adalah iklim mikro yang terdiri atas suhu dan kelembapan udara. Namun, menurut hasil percobaan di Ghana, penyerbukan lebih efektif dan buah terbentuk paling banyak apabila kondisi naungan ringan, bukan pada kondisi tanpa naungan (Asomaning et al., 1971).
      f. Suhu
      Tanaman kakao memerlukan suhu optimal untuk berbunga. Apabila suhu turun di bawah 23oC, proses pembungaan akan terhambat. Suhu rendah mengakibatkan terhambatnya proses pembentukan (deferensiasi) kuncup-kuncup bunga (Sale, 1969). Hasil penelitian Alvim (1984) pada kondisi terkontrol menunjukkan bahwa jumlah bantalan bunga yang aktif di setiap pohon dan jumlah bunga yang terbentuk dari setiap bantalan bunga lebih banyak terjadi pada suhu 26oC dan 30oC dibandingkan dengan suhu 23oC. Bantalan bunga memerlukan rangsangan suhu yang hangat untuk dapat aktif menumbuhkan bunga. Di lain pihak, suhu yang terlalu tinggi juga menghambat pembungaan karena terjadi kerusakan pada hormon yang memacu diferensiasi sel dan pembungaan.
      g. Distribusi Hujan dan Kelembapan
      Kakao merupakan tanaman tahunan yang tumbuh di daerah tropis dan sangat peka terhadap kekurangan air atau cekaman lengas (stress). Pembungaan sangat berkurang apabila tanaman mengalami stress. Menurunnya pembungaan ini menurut Sale cit. Alvim (1984) disebabkan oleh terhambatnya perkembangan tunas bunga tetapi awal pembentukan bunga (inisiasi bunga) tetap berlangsung selama cekaman lengas. Hal ini tampak pada tanaman yang mengalami kekeringan akan segera berbunga lebat apabila diairi. Peningkatan pembungaan yang spektakuler ini membuktikan bahwa sesungguhnya cekaman lengas tidak mencegah diferensiasi kuncup bunga tetapi menyebabkan kuncup bunga dalam keadaan dorman (istirahat). Transisi dari periode kering ke periode basah merupakan faktor penting yang mengatur intensitas pembungaan kakao. Pembungaan dapat pula diinduksi dengan meningkatkan kelembapan udara dari rendah (50 – 60%) atau sedang (70 -80%) ke kelembapan tinggi (90 – 95%).

      4. Perkembangan dan Pemasakan Buah

      Umur tanaman kakao mulai berbuah (prekositas) sangat dipengaruhi oleh bahan tanaman yang digunakan. Tanaman asal setek paling cepat berbunga dan berbuah, disusul tanaman asal sambungan plagiotrop okulasi plagiotrop, kemudian tanaman asal benih. Pada dasarnya hasil buah kakao dipengaruhi oleh beberapa hal sebagai berikut.
      • Jumlah bunga yang tumbuh.
      • Persentase bunga yang diserbuki.
      • Persentase bunga yang dibuahi.
      • Persentase buah muda yang mampu berkembang sampai masak.
      Pertumbuhan buah kakao dapat dipisahkan kedalam dua fase (McKelvie, 1955). Fase pertama berlangsung sejak pembuahan sampai buah berumur 75 hari. Selama 40 hari pertama, pertumbuhan buah agak lambat kemudian sesudah itu cepat dan mencapai puncaknya pada umur 75 hari. Pada umur itu panjang buah mencapai sekitar 11 cm. Fase kedua ditandai pertumbuhan membesar buah, berlangsung cepat sampai umur 120 hari. Pada umur 143 – 170 hari, buah telah mencapai ukuran maksimal dan mulai masak yang ditandai dengan perubahan warna kulit buah dan terlepasnya biji dari kulit buah.Buah muda yang terbentuk pada bulan pertama belum menjamin hasil yang diperoleh. Sebagian besar buah muda tersebut akan layu dan mati dalam kurun 1 – 2 bulan yang pada kakao lazim disebut dengan layu pentil (cherelle wilt).
      Ada dua faktor utama penyebab matinya buah muda.
      • Faktor lingkungan, seperti kekurangan air, drainase buruk, tanah miskin unsur hara, serta serangan hama dan penyakit atau patogenis.
      • Faktor dalam atau fisiologis, seperti kantong lembaga tidak normal.

      Layu pentil kakao merupakan penyakit fisiologis dan khas pada tanaman kakao, angkanya dapat mencapai 60 – 90% dan berlangsung pada umur 0 – 70 hari. Layu pentil dapat disamakan dengan gugur buah lainnya, tetapi pada kakao pentilnya mengering dan tetap menempel pada cabang atau batang.Layu pentil kakao berlangsung dalam dua fase (McKelvie, 1955). Fase pertama mencapai puncaknya tujuh minggu setelah pembuahan. Fase kedua mencapai puncaknya 10 minggu setelah pembuahan, kemudian menurun seiring dengan meningkatnya metabolisme di dalam buah. Telah dibuktikan oleh Nichols (1966) bahwa setelah panjang buah mencapai 10 cm (umur 70 – 100 hari), buah telah lepas dari penyakit fisiologis ini. Diduga bahwa pada umur tersebut berkas pengangkut di dalam pentil kakao telah terbentuk lengkap dan berfungsi dengan baik.

      (Sumber : Panduan Budidaya Tanaman Kakao, 2006)

      Friday, March 7, 2008

      2. Morfologi Tanaman Kakao

      1. Batang dan Cabang

      Habitat asli tanaman kakao adalah hutan tropis dengan naungan pohon-pohon yang tinggi, curah hujan tinggi, suhu sepanjang tahun relatif sama, serta kelembapan tinggi dan relatif tetap. Dalam habitat seperti itu, tanaman kakao akan tumbuh tinggi tetapi bunga dan buahnya sedikit.
      Jika dibudidayakan dikebun, tinggi tanaman umur tiga tahun mencapai 1,8 – 3,0 meter dan pada umur 12 tahun dapat mencapai 4,5 – 7,0 meter (Hall, 1932). Tinggi tanaman tersebut beragam, dipengaruhi oleh intensitas naungan serta faktor-faktor tumbuh yang tersedia.
      Tanaman kakao bersifat dimorfisme, artinya mempunyai dua bentuk tunas vegetatif. Tunas yang arah pertumbuhannya ke atas disebut dengan tunas ortotrop atau tunas air (wiwilan atau chupan), sedangkan tunas yang arah pertumbuhannya ke samping disebut dengan plagiotrop (cabang kipas atau fan).
      Tanaman kakao asal biji, setelah mencapai tinggi 0,9 – 1,5 meter akan berhenti tumbuh dan membentuk jorket. Jorket adalah tempat percabangan dari pola percabangan ortotrop ke plagitrop dan khas hanya pada tanaman kakao. Pembentukan jorket didahului dengan berhentinya pertumbuhan tunas ortotrof karena ruas-ruasnya tidak memanjang. Pada ujung tunas tersebut, stipula (semacam sisik pada kuncup bunga) dan kuncup ketiak daun serta tunas daun tidak berkembang. Dari ujung perhentian tersebut selanjutnya tumbuh 3 – 6 cabang yang arah pertumbuhannya condong ke samping membentuk sudut 0 – 60o dengan arah horisontal. Cabang-cabang itu disebut dengan cabang primer (cabang plagiotrof). Pada cabang primer tersebut kemudian tumbuh cabang-cabang lateral (fan) sehingga tanaman membentuk tajuk yang rimbun.
      Pada tanaman kakao dewasa sepanjang batang pokok tumbuh wiwilan atau tunas air (chupon). Dalam teknik budi daya yang benar, tunas air ini selalu dibuang, tetapi pada tanaman kakao liar, tunas air tersebut akan membentuk bantang dan jorket yang baru sehingga tanaman mempunyai jorket yang bersusun.
      Dari tunas plagiotrop biasanya hanya tumbuh tunas-tunas plagiotrop, tetapi juga kadang-kadang tumbuh tunas ortotrop. Pangkasan berat pada cabang plagiotrop yang besar ukurannya merangsang tumbuhnya tunas ortotrop itu. Tunas ortotrop hanya membentuk tunas plagiotrop setelah membentuk jorket. Tunas ortotrop membentuk tunas ortotrop baru dengan menumbuhkan tunas air.
      Saat tumbuhnya jorket tidak berhubungan dengan umur atau tinggi tanaman. Pemakaian pot besar dilaporkan menunda tumbuhnya jorket, sedangkan pemupukan dengan 140 ppm N dalam bentuk nitrat mempercepat tumbuhnya jorket. Tanaman kakao membentuk jorket setelah memiliki ruas batang sebanyak 60 – 70 buah. Namun batasan tersebut tidak pasti, karena kenyataannya banyak faktor lingkungan yang berpengaruh dan sukar dikendalikan. Contohnya, kakao yang ditanam di dalam polibag dan mendapat intensitas cahaya 80% akan membentuk jorket lebih pendek daripada tanaman yang ditanam di kebun. Selain itu, jarak antar daun sangat dekat dan ukuran daunnya lebih kecil. Terbatasnya medium perakaran merupakan penyebab utama gejala tersebut. Sebaliknya, tanaman kakao yang ditanam di kebun dengan jarak rapat akan membentuk jorket yang tinggi sebagai efek dari etiolasi (pertumbuhan batang memanjang akibat kekurangan sinar matahari).

      2. Daun

      Sama dengan sifat percabangannya, daun kakao juga bersifat dimorfisme. Pada tunas ortotrop, tangkai daunnya panjang, yaitu 7,5 – 10 cm sedangkan pada tunas plagiotrop panjang tangkai daunnya hanya sekitar 2,5 cm (Hall, 1932). Tangkai daun bentuknya silinder dan bersisik halus, bergantung pada tipenya.
      Salah satu sifat khusus daun kakao yaitu adanya dua persendian (articulation) yang terletak di pangkal dan ujung tangkai daun. Dengan persendian ini dilaporkan daun mampu membuat gerakan untuk menyesuaikan dengan arah datangnya sinar matahari.
      Bentuk helai daun bulat memanjang (oblongus), ujung daun meruncing (acuminatus), dan pangkal daun runcing (acutus). Susunan tulang daun menyirip dan tulang daun menonjol ke permukaan bawah helai daun. Tepi daun rata, daging daun tipis tetapi kuat seperti perkamen. Warna daun dewasa hijau tua bergantung pada kultivarnya. Panjang daun dewasa 30 cm dan lebarnya 10 cm. Permukaan daun licin dan mengilap.
      Pertumbuhan daun pada cabang plagiotrop berlangsung serempak tetapi berkala. Masa tumbuhnya tunas-tunas baru itu dinamakan pertunasan atau flushing. Pada saat itu setiap tunas membentuk 3 – 6 lembar daun baru sekaligus. Setelah masa tunas tersebut selesai, kuncup – kuncup daun itu kembali dorman (istirahat) selama periode tertentu. Kuncup-kuncup akan bertunas lagi oleh rangsangan faktor lingkungan.
      Ujung kuncup daun yang dorman tertutup oleh sisik (scales). Jika kelak bertunas lagi sisik tersebut rontok meninggalkan bekas (scars) atau lampang yang berdekatan satu sama lain dan disebut dengan cincin lampang (ring scars). Dengan menghitung banyaknya cincin lampang pada suatu cabang, dapat diketahui jumlah pertunasan yang telah terjadi pada cabang yang bersangkutan. Intensitas cahaya memengaruhi ketebalan daun serta kandungan klorofil. Daun yang berada di bawah naungan berukuran lebih lebar dan warnanya lebih hijau daripada daun yang mendapat cahaya penuh (Wood & Lass, 1985).

      3. Akar

      Kakao adalah tanaman dengan surface root feeder, artinya sebagian besar akar lateralnya (mendatar) berkembang dekat permukaan tanah, yaitu pada kedalaman tanah (jeluk) 0 – 30 cm. Menurut Himme (cit. Smyth, 1960), 56% akar lateral tumbuh pada jeluk 11 – 20 cm, 14% pada jeluk 21 – 30 cm, dan hanya 4% tumbuh pada jeluk di atas 30 cm dari permukaan tanah. Jangkauan jelajah akar lateral dinyatakan jauh di luar proyeksi tajuk. Ujungnya membentuk cabang-cabang kecil yang susunannya ruwet (intricate).

      4. Bunga

      Tanaman kakao bersifat kauliflori. Artinya bunga tumbuh dan berkembang dari bekas ketiak daun pada batang dan cabang. Tempat tumbuh bunga tersebut semakin lama semakin membesar dan menebal atau biasa disebut dengan bantalan bunga (cushion).
      Bunga kakao mempunyai rumus K5C5A5+5G(5). Artinya, bunga disusun oleh 5 daun kelopak yang bebas satu sama lain, 5 daun mahkota, 10 tangkai sari yang tersusun dalam 2 lingkaran dan masing-masing terdiri dari 5 tangkai sari tetapi hanya satu lingkaran yang fertil, dan 5 daun buah yang bersatu. Bunga kakao berwarna putih, ungu, atau kemerahan. Warna yang kuat terdapat pada benang sari dan daun mahkota. Warna bunga ini khas untuk setiap kultivar. Tangkai bunga kecil tetapi panjang (1-1,5 cm). Daun mahkota panjangnya 6 – 8 mm, terdiri dari dua bagian. Bagian pangkal berbentuk seperti kuku binatang (claw) dan biasanya terdapat dua garis merah. Bagian ujung berupa lembaran tipis, fleksibel, dan berwarna putih.

      5. Buah dan Biji

      Warna buah kakao sangat beragam, tetapi pada dasarnya hanya ada dua macam warna. Buha yang ketika muda berwarna hijau atau hijau agak putih jika sudah masak akan berwarna kuning. Sementara itu, buah yang ketika muda berwarna merah, setelah masak berwarna jingga (orange).
      Kulit buah memiliki 10 alur dalam dan dangkal yang letaknya berselang-seling. Pada tipe criollo dan trinitario alur buah kelihatan jelas. Kulit buah tebal tetapi lunak dan permukaannya kasar. Sebaliknya, pada tipe forastero, permukaan kulit buah pada umumnya halus (rata); kulitnya tipis, tetapi keras dan liat.
      Buah akan masak setelah berumur enam bulan. Pada saat itu ukurannya beragam, dari panjang 10 hingga 30 cm, bergantung pada kultivar dan faktor-faktor lingkungan selama perkembangan buah.
      Biji tersusun dalam lima baris mengelilingi poros buah. Jumlahnya beragam, yaitu 20 – 50 butir per buah. Jika dipotong melintang, tampak bahwa biji disusun oleh dua kotiledon yang saling melipat dan bagian pangkalnya menempel pada poros lembaga (embryo axis). Warna kotiledon putih untuk tipe criollo dan ungu untuk tipe forastero.
      Biji dibungkus oleh daging buah (pulpa) yang berwarna putih, rasanya asam manis dan diduga mengandung zat penghambat perkecambahan. Di sebelah dalam daging buah terdapat kulit biji (testa) yang membungkus dua kotiledon dan poros embrio. Biji kakao tidak memiliki masa dorman. Meskipun daging buahnya mengandung zat penghambat perkecambahan, tetapi kadang-kadang biji berkecambah di dalam buah yang terlambat dipanen karena daging buahnya telah kering.
      Pada saat berkecambah, hipokotil memanjang dan mengangkat kotiledon yang masih menutup ke atas permukaan tanah. Fase ini disebut fase serdadu. Fase kedua ditandai dengan membukanya kotiledon diikuti dengan memanjangnya epikotil dan tumbuhnya empat lembar daun pertama. Keempat daun tersebut sebetulnya tumbuh dari setiap ruasnya, tetapi buku-bukunya sangat pendek sehingga tampak tumbuh dari satu ruas. Pertumbuhan berikutnya berlangsung secara periodik dengan interval waktu tertentu.
      (Sumber : Panduan Budidaya Tanaman Kakao, 2006)

      Thursday, March 6, 2008

      1. Sistematika Tanaman Kakao

      Kakao merupakan satu-satunya di antara 22 jenis marga Theobroma, suku Sterculiceae yang diusahakan secara komersial. Menurut Tjitrosoepomo (1988) sistematika tanaman ini sebagai berikut :

      Divisi: Spermatophyta
      Sub Divisi : Angiospermae
      Kelas : Dicotyledonae
      Sub Kelas : Dialypetalae
      Famili : Malvales
      Ordo : Sterculiaceae
      Genus : Theobroma
      Spesies : Theobroma cacao L.

      Beberapa sifat (penciri) dari buah dan biji digunakan sebagai dasar klasifikasi dalam sistem taksonomi. Berdasarkan bentuk buahnya, kakao dapat dikelompokkan ke dalam empat populasi yaitu cundeamor, criollo, amelonado, dan angoleta.
      Menurut Cuatrecasas (1964) dikenal sub jenis kakao, yaitu Cacao dan Sphaerocarpum (chev.) Cuatr. Subjenis cacao mempunyai empat forma (taksonomi di bawah subjenis) seperti berikut.
      1. Forma Cacao. Anggotanya tipe Criollo dari Amerika Tegah. Bentuk biji bulat, keping biji (kotiledon) putih, dan mutunya tinggi.
      2. Forma Pentagonum. Hanya dikenal di Meksiko dan Amerika Tengah. Bij bulat dan besar, kotiledon putih, dan mutunya tinggi.
      3. Forma Leicarpum. Biji bulat atau montok (plum), kotiledon putih atau ungu pucat, dan mutunya tinggi. Klon-klon Djati Runggu (DR) termasuk forma ini.
      4. Forma Lacandonense. Dikenal di dekat Chiapas, Meksiko. Forma ini termasuk kakao liar.

      Kakao lindak (bulk) yang telah tersebar laus di daerah tropika adalah anggota subjenis Sphaerocarpum. Bentuk bijinya lonjong (oval), pipih dan keping bijinya (kotiledon) berwarna ungu gelap. Mutunya beragam tetapi lebih rendah daripada subjenis cacao. Permukaan kulit buahnya relatif halus karena alur-alurnya dangkal. Kulit buah ini tipis tetapi keras (liat). Pertumbuhan tanamannya kuat dan cepat, daya hasilnya tinggi, dan relatif tahan terhadap beberapa jenis hama dan penyakit.

      Menurut Cheesman (cit.Wood dan Lass, 1985) kakao dibagi tiga kelompok besar, yaitu criollo, forastero, dan trinitario. Sebagian sifat criollo telah disebutkan di atas. Sifat lainnya adalah pertumbuhannya kurang kuat, daya hasil lebih rendah daripada forastero, relatif gampang terserang hama dan penyakit. Permukaan kulit buah criollo kasar, berbenjol-benjol, dan alur-alurnya jelas. Kulit ini tebal tetapi lunak sehingga mudah dipecah. Kadar lemak dalam biji lebih rendah daripada forastero tetapi ukuran bijinya besar, bentuknya bulat, dan memberikan cita rasa khas yang baik. Lama fermentasi bijinya lebih singkat dari pada tipe forastero. Dalam tata niaga kakao criollo termasuk kakao mulia (fine-flavoured), sementara itu kakao forastero termasuk kelompok kakao lindak (bulk).

      Kelompok kakao trinitario merupakan hibrida criollo dengan forastero. Sifat morfologi dan fisiologinya sangat beragam, demikian juga daya dan mutu hasilnya. Dalam tata niaga, kelompok trinitario dapat masuk dalam kakao mulia dan lindak, bergantung pada mutu bijinya.

      (Sumber : Panduan Budidaya Tanaman Kakao, 2006)

      5. Perkembangan Harga

      Harga kakao merupakan aspek yang kompleks, karena banyak faktor yang saling memengaruhi terbentuknya harga. Selama ini, faktor pasokan (supply) kakao relatif paling berpengaruh terhadap terbentuknya tingkat harga di samping faktor permintaan (demand). Penyebabnya, beberapa kontrak pembelian, pengiriman dan tingkat harga sudah disetujui selama 1 tahun yang akan datang sehingga jika pada tahun yang bersangkutan mengalami penurunan akibat faktor iklim, hama, penyakit, atau pergolakan politik, eksportir akan panik jika tidak mampu memenuhi volume kontraknya.

      Cara yang paling mudah untuk memperkirakan tingkat harga yang akan terjadi pada tahun mendatang adalah berdasarkan data stok kakao pada akhir tahun kakao. Umumnya, jumlah stok yang melimpah akan menekan harga (eksportir merasa aman karena cadangan cukup). Demikian juga jika jumlah stok terbatas, harga cenderung terdorong naik.

      Untuk jangkan panjang, produksi kakao dunia diramalkan akan terus meningkat karena negara-negara produsen utama kakao cenderung terus memperluas area kakaonya. Dalam kondisi seperti di atas, konsumen sebagai penentu harga akan memilih kakao bermutu tinggi dengan harga murah.

      4. Perkembangan Produksi dan Luas Areal Kakao Indonesia

      Perkembangan produksi kakao Indonesia periode 1990 – 2002 menunjukkan bahwa perkebunan rakyat pada tahun-tahun terakhir ini paling dominan, dengan andil produksi sekitar 50,47%. Sementara itu, kontribusi perkebunan besar negara dan perkebunan swasta masing-masing 37,30% dan 12,23%. Peningkatan produksi oleh perkebunan negara relatif stabil, hal ini karena didukung oleh lembaga-lembaga penelitian perkebunan.

      Kakao Indonesia mengalami perkembangan cukup pesat. Tahun 1969 – 1970, produksi kakao Indonesia hanya sekitar satu ton atau peringkat ke-29 dunia (FAO, 1972), kemudian meningkat menjadi sekitar 16 ton atau peringkat ke-16 dunia pada tahun 1980 – 1981.

      Mutu kakao rakyat ternyata cukup rendah, padahal bila dilihat dari segi jumlah adalah yang terbesar, sehingga masalah mutu kakao pun menjadi faktor paling menonjol dan menjadi kendala utama dalam skala nasional.

      Menurut status pengusahaannya, perkebunan kakao di Indonesia dibagi menjadi tiga, yaitu perkebunan rakyat, perkebunan besar negara, dan perkebunan besar swasta. Pada tahun 2000 perkebunan rakyat memiliki jumlah area terbesar, yaitu 86% dari total area perkebunan kakao di Indonesia, kemudian diikuti oleh perkebunan besar negara 7%, dan perkebunan besar swasta 7%.

      (Sumber : Budidaya Tanaman Kakao, 2006)

      Tuesday, March 4, 2008

      3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Kakao Dunia

      1. Perkembangan Produksi

      Tanaman kakao berasal dari hutan hujan tropis di Amerika Tengah dan bagian utara Amerika Selatan. Jadi, wajar saja jika pada tahap awal dominasi produksi dikuasai oleh Amerika Selatan.Sebelum periode 1919 / 1920, produksi dunia didominasi oleh Amerika Selatan dengan produsen utamanya Ekuador dan Brasil. Namun pada periode 1920 / 21 hingga sekarang, produksi kakao dunia telah bergeser dari Amerika Selatan ke Afrika dengan andil 50 – 70%. Sampai periode 1976 / 1977 produsen utama kakao dunia adalah Ghana. Setelah itu, posisinya digantikan oleh Pantai Gading (Ivory Coast).
      Pantai Gading saat ini masih sebagai penghasil utama kakao dunia dengan produksi 1.250 ribu ton, berada jauh di atas produksi negara-negara lain. Sementara itu, peringkat kedua dan ketiga diperebutkan oleh Indonesia dan Ghana (Afrika).

      2. Perkembangan Konsumsi Kakao Dunia

      Konsumsi biji kakao sejak tahun 1900 cenderung meningkat dengan rata-rata peningkatan 3,9% per tahun. Seandainya tingkat kesejahteraan sebagian besar penduduk dunia meningkat, apalagi jika harga produk jadi (cokelat) lebih murah, konsumsi kakao dunia diprediksi akan meningkat.
      Tabel 2. Konsumsi biji kakao dunia tahun 1900 – 2000

      Tahun

      Konsumsi (000 ton)

      1900

      1910

      1920

      1930

      1940

      1950

      1960

      1970

      1980

      1990

      2000

      103

      206

      382

      495

      711

      793

      941

      1.357

      1.573

      2.207

      2.965


      (Sumber : Budidaya Tanaman Kakao, 2006)