Habitat asli tanaman kakao adalah hutan tropis basah dan tumbuh di bawah naungan tanaman hutan. Di dalam teknik budi daya yang baik, sebagian sifat habitat aslinya tersebut masih dipertahankan, yaitu dengan memberu naungan secukupnya. Ketika tanaman masih muda, intensitas naungan yang diberikan cukup tinggi, selanjutnya dikurangi secara bertahap seiring dengan semakin tuanya tanaman atau bergantung pada berbagai faktor tumbuh yang tersedia.
Masih dipertahankannya pemakaian naungan pada budidaya kakao disebabkan oleh tingkat kejenuhan cahaya untuk fotosintesis relatif rendah. Alvim (1977) membuktikan fotosintesis berlangsung optimum pada intensitas cahaya sekitar 60% dari penyinaran langsung.
Penetapan hasil fotosintesis bersih dapat diketahui dengan menghitung jumlah daun serta mengukur laju penyerapan CO2 per satuan luas daun. Jumlah daun lazimnya dinyatakan dengan LAI (leaf area index) yaitu besaran yang menyatakan nisbah (perbandingan/rasio) antara jumlah luas semua daun dan tanah yang ternaungi. Hasil fotosintesis akan meningkat dengan meningkatnya LAI, tetapi sesungguhnya juga sangat bergantung pada struktur tajuk dan pencahayaan. Daun-daun yang ternaungi tidak optimal dalam melakukan fotosintesis.
Dari hasil penelitian terhadap kelayuan buah muda (cherelle wilt) dapat dibuktikan bahwa untuk berkembangnya satu buah kakao perlu didukung oleh 8 – 10 lembar daun dewasa yang sehat dan mendapat pencahayaan yang baik. Jika proporsi daun hanya 5 – 6 lembar untuk setiap buah, angka kelayuan buah muda sangat tinggi dan telah terjadi tiga minggu setelah pertumbuhannya (Alvim, 1952). Dibandingkan dengan tanaman keras lainnya, tanaman kakao mempunyai laju fotosintesis bersih yang rendah.
Hasil penelitian di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia menunjukkan ada perbedaan pada laju fotosintesis kakao lindak dengan kakao mulia. Kakao lindak lebih tahan terhadap penyinaran matahari dan pada kondisi tanpa naungan, laju asimilasi bersih terus meningkat. Sebaliknya, pada bibit kakao mulia laju asimilasi menurun pada intensitas cahaya lebih dari 80%.
Pada dasarnya, manajemen pemangkasan tanaman kakao dan pengelolaan naungan dimaksudkan untuk memperoleh LAI optimal. Tujuan pemangkasan di samping untuk memperoleh tajuk (kanopi) yang ideal juga untuk meningkatkan aerasi dan penetrasi cahaya ke dalam tajuk tanaman agar distribusi cahaya merata ke seluruh permukaan daun. Sementara itu, pohon naungan berfungsi untuk mengatur persentase penerimaan cahaya sesuai dengan kebutuhan tanaman kakao.
Telah disebutkan bahwa pada dasarnya kakao adalah tanaman yang suka naungan (shade loving tree), laju fotosintesis optimum berlangsung pada intensitas cahaya sekitar 70%. Murray (1953) yang mengamati hubungan antara intensitas cahaya dan buah dipanen serta hasil biji mendukung pernyataaan tersebut. Namun dalam praktik di kebun, telah dibuktikan bahwa pada tanah yang subur dan faktor-faktor tumbuh yang lain mendukung pertumbuhan tanaman yang baik, hasil biji tertinggi diperoleh pada tanaman tanpa penaung. Tanaman penaung berfungsi sebagai penyangga (buffer) terhadap pengaruh jelek dari faktor lingkungan yang tidak dalam kondisi optimal, seperti kesuburan tanah rendah serta musim kemarau yang tegas dan panjang.
Hasil fotosintesis tanaman kakaosebagian besar dipergunakan untuk menopang pertumbuhan vegetatif dan hanya sekitar 6% dipergunakan untuk pertumbuhan generatif. Dari bagian yang 6% tersebut tidak seluruhnya menjadi biji yang siap panen sebab sebagian besar buah kakao akan mengalami layu fisiologis yang lazim disebut dengan cherelle wilt. Sekitar sepertiga dari jumlah itu digunakan untuk menghasilkan biji kakao, sisanya untuk pertumbuhan kulit buah dan bunga (Alvim, 1975).
Proses fotosintesis dan pembentukan jaringan yang baru memerlukan mineral dari dalam tanah. Penyerapan dan penggunaan mineral ini relatif sedikit, lazim 1 : 40 (mineral : asimilat). Peranan hara mineral ini amat penting karena beberapa mineral selain berperan secara struktural, juga berperan fungsional sebagai aktivator sistem enzim. Penelitian di Malaysia menunjukkan bahwa untuk menghasilkan 1.000 kg biji kering, diperlukan hara mineral N 31,0; P 4,9; K 53,8; Ca 4,9; Mg 5,2; Mn 0,11; dan Zn 0,09 (dalam satuan kg/ha/tahun). Jika diperhitungkan dengan jumlah yang diperlukan untuk menopang pertumbuhan dan hasil 1.000 kg/ha/tahun, jumlah tersebut meningkat menjadi N 469,0; P 52,9; K 686,8; Ca 377,9; Mg 134,2; Mn 6,21; dan Zn 1,59 (Thong & Ng, 1978).
Kakao termasuk tanaman dengan laju fotorespirasi tinggi, yaitu 20 – 50% dari hasil total fotosintesis. Fotorespirasi tidak menghasilkan energi yang bermanfaat bagi tanaman sehingga upaya untuk menekan laju fotorespirasi berarti juga upaya untuk meningkatkan produktivitas, antara lain dengan pemberian pohon naungan.
Air yang diserap tanaman sebagian besar hilang lewat proses transpirasi (penguapan). Proses ini cukup penting karena berkaitan dengan penyerapan unsur hara dan menjaga suhu tubuh tanaman. Selain lewat proses transiprasi, kehilangan air juga dapat melalui evaporasi. Nilai evapotranspirasi berhubungan dengan suhu rata-rata bulanan dan dirumuskan oleh Alvin (1966) sebagai berikut.
EP bulanan = (T x 58,93) / 12 mm
EP = Evapotraspirasi
T = Rata-rata suhu bulanan (oC)
Di daerah tropis, nilai EP sekitar 4 – 5 inch (Muray, 1964). Tanaman kakao akan menderita akibat kekurangan air jika curah hujan bulanan lebih rendah dari nilai EP tersebut.
Agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, tanaman kakao menghendaki suhu yang optimal. Meskipun tanaman kakao berasal dari daerah tropis, tanaman ini tidak tahan suhu yang tinggi. Kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan kakao mulia adalah 18,8 – 27,9 oC, sementara untuk kakao lindak 22,4 – 30,4oC. Suhu yang tinggi mengakibatkan hilangnya dominasi pucuk, klorosis, nekrosis, gugur daun, dan tanaman menjadi kerdil.
Pada awal perkecambahan benih, akar tunggang tumbuh cepat dari panjang 1 cm pada umur satu minggu, mencapai 16 – 18 cm pada umum satu bulan, dan 25 cm pada umur tiga bulan. Setelah itu laju petumbuhannya menurun dan untuk mencapai panjang 50 cm memerlukan waktu dua tahun. Kedalaman akar tunggang menembus tanah dipengaruhi keadaan air tanah dan struktur tanah. Pada tanah yang dalam dan berdrainase baik, akar kakao dewasa mencapai kedalaman 1,0 – 1,5 m.Pertumbuhan akar kakao sangat peka pada hambatan, baik berupa batu, lapisan keras, maupun air tanah. Apabila selama pertumbuhan, akar menjumpai batu, akar tungganga akan membelah menjadi dua dan masing-masing tumbuh geosentris (mengarah ke dalam tanah). Apabila batu yang dijumpai terlalu besar, sebagian akar lateral mengambil alih fungsi akar tunggang dengan tumbuh ke bawah. Apabila permukaan air tanah yang dijumpai, akar tunggang tidak berkembang sama sekali.
Pembungaan tanaman kakao sangat dipengaruhi oleh faktor dalam (internal) dan faktor lingkungan (iklim). Pada lokasi tertentu, pembungaan sangat terhambat oleh musim kemarau atau oleh suhu dingin. Namun, di lokasi yang curah hujannya merata sepanjang tahun serta fluktuasi suhunya kecil, tanaman akan berbunga sepanjang tahun.
Di Brasil, penelitian persaingan antara buah dan bunga ini telah dilakukan oleh Vogel et al., cit. Alvim (1984). Buah dipetik setiap dua minggu selama dua tahun. Hasilnya adalah intensitas pembungaan meningkat dan ukuran serta umur buah yang ada tidak mempengaruhi intensitas pembungaan. Pertumbuhan vegetatif dapat menyaingi pembungaan.
Hutcheon (1973) melalui beberapa percobaannya telah membuktikan pentingnya peran karbohidrat dalam proses pembungaan. Hal ini dapat dilihat dari praktik-praktik yang bersifat meningkatkan fotosintesis dan pembungaan, misalnya pembukaan naungan, pemupukan, dan pengairan.Zat pengatur tumbuh yang dihasilkan biji kakao (asam giberelin) dapat menghambat pembungaan. Penghambat (retardan) ini dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan bunga pada saat tertentu dan menunda pembungaan pada saat yang diinginkan. Bahan yang pernah dicoba meliputi Ethrel, Cycocel, Alar, dan Asam Giberelin (Hutcheon, 1973). Pengaruh Ethrel ternyata paling menarik. Konsentrasi 250 ppm atau 500 ppm lebih efektif dari pada konsentrasi 100 ppm, yaitu sebagian besar bunga gugur dua hari setelah aplikasi. Produksi bunga pada minggu-minggu berikutnya juga terhambat dan pengaruhnya tampak pada minggu keenam dan ketujuh.
Umur tanaman kakao mulai berbuah (prekositas) sangat dipengaruhi oleh bahan tanaman yang digunakan. Tanaman asal setek paling cepat berbunga dan berbuah, disusul tanaman asal sambungan plagiotrop okulasi plagiotrop, kemudian tanaman asal benih. Pada dasarnya hasil buah kakao dipengaruhi oleh beberapa hal sebagai berikut.
- Jumlah bunga yang tumbuh.
- Persentase bunga yang diserbuki.
- Persentase bunga yang dibuahi.
- Persentase buah muda yang mampu berkembang sampai masak.
- Faktor lingkungan, seperti kekurangan air, drainase buruk, tanah miskin unsur hara, serta serangan hama dan penyakit atau patogenis.
- Faktor dalam atau fisiologis, seperti kantong lembaga tidak normal.
Layu pentil kakao merupakan penyakit fisiologis dan khas pada tanaman kakao, angkanya dapat mencapai 60 – 90% dan berlangsung pada umur 0 – 70 hari. Layu pentil dapat disamakan dengan gugur buah lainnya, tetapi pada kakao pentilnya mengering dan tetap menempel pada cabang atau batang.Layu pentil kakao berlangsung dalam dua fase (McKelvie, 1955). Fase pertama mencapai puncaknya tujuh minggu setelah pembuahan. Fase kedua mencapai puncaknya 10 minggu setelah pembuahan, kemudian menurun seiring dengan meningkatnya metabolisme di dalam buah. Telah dibuktikan oleh Nichols (1966) bahwa setelah panjang buah mencapai 10 cm (umur 70 – 100 hari), buah telah lepas dari penyakit fisiologis ini. Diduga bahwa pada umur tersebut berkas pengangkut di dalam pentil kakao telah terbentuk lengkap dan berfungsi dengan baik.
(Sumber : Panduan Budidaya Tanaman Kakao, 2006)
No comments:
Post a Comment